Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PSI, E-Voting, dan Demokrasi yang Terlalu Dangkal

20 Juli 2025   08:00 Diperbarui: 20 Juli 2025   07:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi e-voting (sumber: generate ai 2025)

Sampai terpilihnya ketum baru PSI, tidak ada “forum kader” yang terbuka bagi anggota PSI untuk secara bersama-sama merumuskan arah politik partai. Yang muncul justru komunikasi satu arah dari elite partai ke publik, atau publikasi media massa dengan penemuan bendera re-branding PSI yang terkuak beberapa hari sebelum perhelatan Kongres. Akibatnya, anggota PSI (maupun publik) hanya hadir sebagai pendengar pasif yang diberi peran validasi.

Bandingkan dengan beberapa partai lain di Indonesia. PDIP misalnya, memiliki tradisi ideologisasi yang kuat. Sekolah partai dan disiplin organisasi menjadikan kader memahami, menyerap, dan memperjuangkan garis ideologi partai. PKS bahkan lebih jauh lagi. Dengan sistem tarbiyah dan jaringan kaderisasi intensif, mereka menciptakan identitas kolektif yang kokoh dan militan, meskipun secara ideologis konservatif. Gerindra pun—walau terkesan cair—tetap memiliki struktur elit yang konsisten menjaga narasi partai secara vertikal dan rapi.

Dari perbandingan ini, jelas bahwa PSI justru tertinggal dalam membangun struktur internal yang deliberatif. Jika PSI ingin menghidupkan demokrasi permusyawaratan, maka proses itu harus lebih dari sekadar pemilihan daring. Bentuk ideal ini perlu menjadi arena bernalar, bukan basa-basi. Tempat adu gagasan, bukan hanya adu nama dan pencitraan.

Memang, dalam konteks pemilihan Ketua Umum PSI 2025–2030, pragmatisme elektoral Pemilu mendatang menjadi pertimbangan nyata. Sosok seperti Kaesang tentu unggul dari sisi daya tarik publik. Namun, jika pondasi partai dibiarkan rapuh hanya demi mengejar popularitas jangka pendek, maka demokrasi internal akan terus menjadi bayang-bayang. PSI harus belajar dari partai lain: populisme bisa memenangkan pemilu, tapi deliberasi yang membangun gagasanlah yang menjaga kelangsungan partai.

Alternatif ke Depan: Demokrasi Hibrida yang Autentik

Bagi partai seperti PSI yang sejak awal mengusung semangat “musyawarah anak muda” dan kemajuan digital, tantangan utamanya bukanlah memilih antara tradisi dan teknologi, melainkan menyinergikan keduanya secara bermakna. Musyawarah sebagai istilah yang akrab di telinga rakyat Indonesia tetap relevan, namun metode ini tak boleh berhenti sebagai simbol sopan santun politik tanpa gigi. Bentuknya perlu ditransformasikan menjadi deliberasi kolektif (musyawarah yang terideologisasikan) yang terstruktur dan terukur—yakni forum yang tidak hanya mendengarkan, tetapi menguji gagasan, menyaring kepentingan, dan merumuskan kehendak bersama secara rasional.

Untuk itu, PSI perlu memformalkan mekanisme deliberatif dalam tata tertib organisasinya. Jika musyawarah dianggap lamban dan tidak efisien, maka solusinya bukan menggantinya dengan voting instan, melainkan membangun prosedur deliberasi yang jelas: siapa yang berbicara, dengan argumen apa, dalam forum yang bagaimana, dan untuk menghasilkan apa. Transparansi, urgensi isu, dan relevansi argumentasi harus menjadi tolok ukur partisipasi politik internal.

Model demokrasi hibrida adalah jalan tengah yang menjanjikan. Gagasan dan garis besar kebijakan partai harus lahir dari forum terbuka dan deliberatif—bukan hanya dari elite atau pendiri partai. Calon pemimpin struktural, termasuk Ketua Umum, idealnya harus melewati dialog yang merupakan Garis Besar Haluan Partai (hasil internalisasi Rapat Pimpinan Nasional misalnya), pengajuan calon representatif, lalu presentasi visi yang terbuka kepada anggota. Barulah setelah proses tersebut, e-voting digunakan sebagai tahap finalisasi yang demokratis, yakni validasi kolektif atas hasil diskusi, bukan sekadar polling popularitas.

Dengan demikian, PSI tidak hanya tampil progresif secara prosedural, tetapi juga bertumbuh secara substansial. Demokrasi digital yang cepat tetap dipertahankan, namun ditopang oleh deliberasi yang mendalam—sebuah legitimasi ganda yang menggabungkan efisiensi teknokratis dan kepekaan etik-intelektual. Ini bukan sekadar revolusi prosedural, tetapi evolusi demokratis yang autentik.

Demokrasi Bukan Sekadar Klik, Melainkan Kebudayaan

Di tengah gelombang digitalisasi politik yang kian deras, penting untuk diingat: demokrasi tidak tumbuh dari kecepatan jari saja, melainkan dari kedalaman dialog. Sebuah partai tidak bisa disebut demokratis hanya karena membuka akses voting lewat gawai; demokrasi yang kuat membutuhkan kebudayaan berdebat yang sehat, mekanisme mendengar yang sungguh-sungguh, dan penghormatan terhadap proses pembentukan gagasan yang memerlukan waktu, empati, dan intelektualitas kolektif.

E-voting hanyalah alat—kuat dan efisien, tetapi bukan ruh demokrasi. Cara ini tidak mampu menggantikan forum di mana ide-ide diuji, nilai-nilai diperjuangkan, dan konsensus dibentuk secara partisipatif. Saat alat dijadikan ruh, yang lahir adalah ilusi partisipasi, bukan substansi demokrasi.

Setidaknya polemik ontologis ini tergambar dalam komentar-komentar pedas netizen awam pasca terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI 2025-2030. Penulis merasa perlu merapikan komentar-komentar tersebut dalam kerangka konstruktif—serta mengakui dan mendeskripsikan tantangan realisme politis PSI yang belum dilihat oleh perspektif awam karena ketiadaan diskursus deliberasi pra-kongree—yang kelak dapat menjadi tanggung jawab Ketum PSI terpilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun