Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Raven Putih Di Ambang Perang (Bab I, Bagian I-II)

18 Juni 2025   16:45 Diperbarui: 19 Juni 2025   17:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lenathea mengamati anomali pemantauan isotop (Sumber: ai 2025)

KARAKTER UTAMA

Ethan Vance

  • Profil: Agen CIA veteran, 50-an, trauma psikologis karena kegagalan misi Korea Utara.

  • Motif: Eksistensialisme pragmatis. Percaya pada keseimbangan kekuatan, tetapi mulai goyah.

  • Arketipe: The wounded guardian.

  • Gaya visual: Selalu disorot lewat medium shot rendah dan warna dingin. Dikelilingi suara-suara samar dari ingatan.

  • Dialog khas: Kalimat ringkas, penuh jeda. Contoh: “Kita bukan mencegah perang. Kita menunda kiamat.”

Dr. Lenathea Petrova

  • Profil: Ilmuwan nuklir Rusia, 40-an. Pernah menjadi kekasih intelektual Elias Nagi. Simpati pada dunia Poros Selatan, tapi sadar bahaya absolut dari nuklir.

  • Motif: Dilema antara pengetahuan dan etika. Ingin memperbaiki kesalahan epistemik masa lalu.

  • Arketipe: The philosopher-scientist.

  • Gaya visual: Close-up ekspresif dengan pencahayaan lembut dan warna tanah.

  • Dialog khas: Filosofis nan mendalam. Contoh: “Atom tidak punya niat. Tapi niat manusia menggoreskan sejarah di inti setiap partikel.”

Hamza Al-Ansari

  • Profil: Kepala intelijen Iran, ideolog konservatif, penyintas trauma pembunuhan ilmuwan.

  • Motif: Membuat Iran ditakuti, bukan disukai. Deterrence sebagai strategi final.

  • Arketipe: The prophet of revenge.

  • Gaya visual: Siluet dan pencahayaan belakang. Musik khas Iran mengiringi adegannya.

  • Dialog khas: Puitis, filosofis, pengutip. Contoh: “Keadilan tak pernah datang lewat surat diplomatik. Ia datang lewat ketakutan.”

Elias Nagi

  • Profil: Ilmuwan nuklir eksentrik. Idealistik, kini sinis. Ahli memanipulasi narasi teknologi.

  • Motif: Mendistribusikan kekuatan demi keadilan global. Tapi justru jadi katalis kekacauan.

  • Arketipe: The fallen visionary.

  • Gaya visual: Set-set penuh tulisan tangan, diagram nuklir di dinding. Cahaya redup.

  • Dialog khas: Ambigu, semi-sarkastik. Contoh: “Dunia menyebutku pengkhianat. Tapi aku hanya memperlihatkan bahwa keadilan bisa dikodekan dalam neutron.”

Gracia Sharma

  • Profil: Inspektur IAEA dari India, 30-an, profesional, namun sensitif terhadap etika global.

  • Motif: Menjaga sains dari manipulasi politik, tapi terseret dalam permainan kekuatan.

  • Arketipe: The institutional realist.

  • Gaya visual: Rapi, bersih, cahaya dingin. Banyak tatapan kosong saat konflik batin muncul.

  • Dialog khas: Ringkas, jujur. Contoh: “Kita bukan teknokrat. Kita adalah penyaksi sunyi dari dunia yang membakar dirinya.”

==================================

Dentingan Emas di Dasar Zohreh

Bagian I

Langit Swiss malam itu begitu jernih, seakan disengaja oleh takdir untuk tidak menutupi apa pun. Pegunungan yang tertidur di kejauhan memantulkan cahaya redup dari salju yang belum sepenuhnya mencair, menciptakan lanskap sunyi yang mengisyaratkan keteraturan dunia. Namun di dalam sebuah fasilitas bawah tanah dekat perbatasan Prancis, keteraturan itu sedang terguncang.

Di ruang pemantauan isotop—dikelilingi layar datar, getaran server, dan dengung tak terdengar dari mesin cryo—Dr. Lenathea Petrova berdiri mematung di depan simulasi spektrum. Ada sesuatu yang tidak lazim dalam grafiknya. Garis emas tipis membelah kurva stabil: sinyal isotop uranium 60% yang menyimpang dari rerata kontrol. Terlalu teratur. Terlalu bersih. Seakan bukan alam yang berbicara, melainkan manusia yang menulis.

“Ini bukan kebocoran biasa,” gumamnya dalam bahasa Rusia yang tak sempat diterjemahkan ke pikiran siapa pun. Jari-jarinya melayang, membuka layer demi layer metadata.

Lena, begitu biasa ia dipanggil oleh rekan-rekannya yang kini lebih banyak berada dalam catatan obituari ilmiah daripada direktori hidup, mendekatkan wajahnya ke layar. Tanda isotopium-nya tak berubah—tetapi korelasi suhu lingkungan, aliran logam pendingin, dan data resonansi menandakan perekayasaan yang mustahil dilakukan secara kebetulan.

Ia tahu sinyal ini. Pernah ia lihat skemanya, dalam surat tua yang tidak pernah ia balas. Sebuah catatan dengan pinggiran terbakar yang pernah dikirim oleh seseorang yang kini ia sangka mati. Seseorang yang, entah mengapa, masih membekas seperti proton dalam inti hidupnya yang nyaris meluruh.

“Elias...” bisiknya, nyaris seperti mantra kutukan.

...☆ ...

Di sisi lain dunia, di ruang rapat berpanel kayu di Langley, Ethan Vance menatap keluar jendela. Matanya kosong, seperti selalu. Tapi pikirannya tidak. Ia sedang berada dalam reruntuhan memorinya sendiri—lima tahun lalu, pegunungan Korea Utara, dan laporan intel yang salah. Sebuah uji coba nuklir yang seharusnya hanya simulasi, ternyata memantik perang diplomatik yang hampir tak tertanggungkan.

“Mr. Vance, Anda masih bersama kami?”

Suara itu memecah lamunannya. Seorang analis muda di seberangnya menunggu konfirmasi. Di atas meja: rekaman data dari fasilitas isotop Swiss, laporan dari IAEA, dan—yang paling mengejutkan—salinan catatan teknis yang bertuliskan tangan seseorang yang seharusnya telah menjadi arang di laboratorium Teheran.

“Tulisan Elias Nagi,” ujar Ethan perlahan. “Gaya kurvanya tidak berubah. Dia selalu menulis ‘Z’ seperti petir.”

Salah satu halaman terakhir—dicetak dalam bahasa Farsi yang dibubuhi tangan asing—memuat satu kata yang tak asing baginya:
“Zohreh.”


Ia memicingkan mata. “Dia menyebut nama ini dulu di Istanbul. Katanya, kalau dunia tidak mau mendengar sains, maka sains akan bicara dengan bahasa yang lain.”

“Jadi Anda mengenalnya?”

Ethan tidak menjawab. Ia hanya menyentuh pelipisnya, mengingat malam ketika ia dan Nagi berdiri di teras Istanbul, membicarakan masa depan atom dan nasib dunia seperti dua filsuf yang tersesat dalam bayangan sejarah.

“Kalau benar ini dari dia, maka kita bukan sedang memburu pencuri, kita sedang mengejar mimpi buruk yang bangkit dengan baju baru.”

...☆ ...

Di Wina, di koridor sunyi markas IAEA, Gracia Sharma berjalan cepat. Dalam tablet tangannya, grafik anomali isotopik dari data Swiss dan Turki menumpuk seperti simpul tak terurai. Gracia adalah teknokrat, ya. Tapi ia juga penyair sunyi dalam pikirannya sendiri. Ia tahu bahwa di balik angka, selalu ada kehendak yang menyamar. Dan angka kali ini bicara terlalu nyaring untuk diabaikan.

Namun yang ia hadapi bukan sains, melainkan politik.

“Apakah Anda benar-benar yakin ini bukan error perangkat lunak?” tanya Direktur Regional dengan aksen Jerman yang tebal. Gracia hanya menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan dingin:

“Yang membuat saya khawatir bukan error sistem, tapi bagaimana Anda begitu ingin percaya bahwa ini hanyalah error.”

...☆ ...

Dunia tidak melihat perang saat itu. Tidak ada rudal yang terbang. Tidak ada ledakan. Tapi denting emas telah terdengar di dasar Zohreh—nama yang baru akan muncul di laporan selanjutnya. Sebuah proyek yang tersembunyi bukan hanya dari mata dunia, tapi dari logika dunia itu sendiri. Sebuah simfoni yang komponisnya adalah mereka yang tak lagi percaya pada diplomasi, tapi juga belum bersedia mengakui kekalahan pada perang.

Lenathea mengirim pesan terenkripsi kepada satu orang yang belum ia hubungi bertahun-tahun.

To: ethan.vance@darksig.org

Subject: Zohreh?

Body: Jika kamu masih percaya pada probabilitas, baca ulang persamaan Bohr-Nagi. Kita sedang menari di atas denyut senyap. – L

Bagian II

Pukul 02.17 dini hari di Zurich. Hujan es ringan menggurat jendela seperti sandi Morse dari langit. Di dalam kamar hotel kelas bisnis dengan pencahayaan temaram dan karpet motif barok, Ethan Vance duduk di ranjang tanpa membuka sepatu. Tubuhnya masih mengenakan jas, dasi longgar seperti tali penyesalan yang tak kunjung lepas. Di tangan kirinya, tablet digital berisi hasil analisis awal dari Swiss. Di tangan kanan, segelas bourbon yang hanya disentuh tanpa benar-benar diminum.

Pesan dari Lena menyala di layar.

Zohreh?

Ethan mengedip perlahan. Kata itu seperti tombak dari masa lalu. Zohreh... bukan hanya nama bintang di langit Persia, tapi juga nama proyek yang disebut-sebut dalam fragmen korespondensi intel beberapa tahun lalu. Sebuah bayangan yang terlalu samar untuk disebut nyata, terlalu konsisten untuk diabaikan. Tidak ada satupun yang bisa membuktikan keberadaannya—sampai sekarang.

Ia mengetuk layar, membalas singkat:

“Koordinat terakhir Nagi. Kita bertemu di Jenewa. Siapkan protokol Shadow-6.”

Ia meletakkan tablet, memejamkan mata, dan membiarkan suara hujan menyusup ke dalam pikirannya seperti kenangan tak diundang. Tapi malam itu, tidur tak datang. Hanya mimpi separuh sadar tentang laboratorium terbakar, suara tawa Nagi, dan bunyi seperti lonceng dari inti atom yang meledak dalam diam.

...☆ ...

Pagi hari di markas besar IAEA, Wina. Gracia Sharma berdiri di depan layar besar dalam ruang evaluasi tertutup. Di sekelilingnya, para analis dan penasehat diplomatik menyimak dengan cemas. Di layar: peta digital dunia dengan titik-titik merah berkedip—lokasi isotop uranium yang tercatat secara resmi. Namun ada satu lintasan baru, tidak teregistrasi, melintasi perbatasan Iran melalui Laut Kaspia, menuju wilayah yang sepenuhnya gelap dalam radar IAEA.

“Ini bukan penyimpangan logistik biasa,” ujar Gracia. Suaranya tenang, tapi tegang seperti dawai biola sebelum digesek.

“Dari mana data itu berasal?” tanya seorang diplomat Rusia, penuh skeptisisme.

“Fasilitas pemantauan isotop Swiss dan kerjasama sandi dengan IAEA Eropa Tengah,” jawabnya. “Kami menemukan korelasi dengan sistem sirkulasi aktif dari isotop uranium 60%. Dalam istilah lain—seseorang sedang memindahkan material yang tak seharusnya bisa dipindah tanpa diketahui dunia.”

“Anda menuduh Iran?”

“Saya tidak menuduh. Saya membaca data.”

Hening sejenak. Kemudian seseorang dari panel bertanya, “Apa kode internal dari jalur ini?”

Gracia menatap layar, memperbesar peta, dan menunjuk ke garis tipis berwarna emas.

“Zohreh.”

...☆ ...

Lenathea berdiri di lorong kereta cepat menuju Jenewa. Di sekelilingnya, para penumpang mengenakan headphone, membaca koran elektronik, atau tertidur. Namun dunia batinnya bergetar. Ia membaca ulang surat terakhir dari Nagi—dikirim sepuluh tahun lalu dari alamat email yang kini sudah tidak aktif.

Lenathea,

Kita dulu berbicara tentang atom seperti filsuf membicarakan jiwa. Tapi dunia tidak butuh jiwa. Dunia hanya butuh ketakutan untuk tetap diam. Jika suatu hari kamu melihat pola dalam spektrum isotop, ketahuilah bahwa aku tak pernah berhenti menulis simfoni terakhirku.

- E

Pikirannya menyatu dengan rel yang bergetar. Ia tahu apa arti surat itu sekarang. Zohreh bukan hanya proyek teknologi, tetapi juga pesan semiotik. Sebuah peringatan berlapis. Senjata yang bukan hanya menghancurkan tubuh, tapi juga membakar legitimasi tatanan dunia.

Di kantong mantelnya, ia membawa salinan skema “Bohr-Nagi”—persamaan hiperkompleks untuk memanipulasi waktu paruh sebagai bentuk kontrol terprogram. Sesuatu yang bahkan belum terpublikasi secara resmi.

...☆ ...

Di sebuah ruangan tersembunyi di Teheran, Hamza Al-Ansari duduk bersila di atas permadani tua, membaca lembaran tipis dengan tulisan tangan dalam bahasa Persia kuno. Cahaya lilin membuat bayangannya memanjang ke dinding, menciptakan siluet seolah ia ditemani roh-roh leluhur.

“Sudah saatnya,” katanya lirih, sambil menyentuh cetakan emas dari peta yang dilukis tangan: jaringan fasilitas bawah tanah di gurun Luth.

Seorang ajudan masuk dengan cepat, membisikkan sesuatu dalam bahasa Farsi. Al-Ansari mengangguk pelan.

“Dentingan pertama telah terdengar,” bisiknya.

Ia mengambil ponsel terenkripsi, mengetik perintah sederhana ke satu kanal tersembunyi:


“Aktifkan transit fase satu. Gunakan jalur Armenia.”

Setelah mengirim pesan itu, Ia mengambil pena, menulis baris puisi dari Rumi di pojok dokumen rahasia:

Kau tidak bisa menghentikan langit saat ia memutuskan jatuh.

Tapi kau bisa memilih di sisi mana kau berdiri saat ia retak.

(Bersambung...)

Bagian selanjutnya: Raven Putih di Ambang Perang (Bab I, Bagian III-IV)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun