Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang bapak yang makin tua dan bahagia

IG: @belfinpaians

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Video Off Menjadi Tanda-tanda Produktif?

18 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 18 Februari 2021   08:12 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi Anda yang akhir-akhir ini bekerja dari rumah secara online (daring), pasti merasakan bagaimana nikmatnya duduk seharian di depan laptop dan menatap layar berjam-jam tanpa henti. Apalagi telekonferensi secara daring lewat berbagai platform seperti zoom, google meet, dan lain-lain. 

Anda pasti merasakan bagaimana waktu berlalu begitu cepat. Anda baru sadar bahwa terlalu banyak waktu yang dipakai untuk sekadar rapat atau bekerja dengan kelelahan yang berbeda-beda. Namun, pada kenyataannya, banyak hal yang berubah seiring dengan banyaknya waktu yang terhabiskan di satu titik yang sama.

Ada satu hal menarik yang terlintas di benak saya ketika dalam pertemuan daring, cukup banyak orang yang tidak percaya diri dengan diri mereka sendiri. 

Fitur video yang sudah terdapat di platform itu seringkali tidak difungsikan karena berbagai alasan seperti kamera yang tidak berfungsi, internet yang tidak begitu cepat, hingga pada ketidakpercayaan diri untuk bertemu dengan orang lain. 

Berbagai alasan itulah yang membuat orang memilih untuk tidak tampil di layar, bersembunyi di balik kamera, dan cenderung mengandalkan suara ketimbang gambar. Padahal, Anda sedang bertemu. Bagaimana rasanya bertemu tapi tidak saling melihat, bahkan untuk melihat bahasa tubuh dan respon kepada kita. Tapi ternyata pertemuan bisa diwakilkan oleh suara saja. Apa bedanya dengan bertelepon dong?

Fenomena pertemuan secara daring ini memang menjadi hal baru di masa-masa pandemi ini. Saya sebut baru karena hampir seluruh umat manusia, khususnya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan yang melibatkan banyak orang, memiliki kecenderungan untuk mengalami ini. 

Bertatap muka secara daring. Kehidupan berubah menjadi daring. Sebagian besar hidup kita dialihkan ke dunia daring. Maka tak heran apabila lahir sebuah budaya untuk menampilkan diri sendiri melalui kamera yang tersedia di perangkat-perangkat teknologi komunikasi.

Hal inilah yang menjadi tuntutan di beberapa bidang pekerjaan, termasuk bidang pendidikan. Belajar online memerlukan pertemuan yang tidak hanya melalui suara, tapi juga tubuh. 

Dengan menampakkan wajah, kita bisa saling mengenal dan berkomunikasi dengan baik. Kalau hanya mengandalkan suara, rasanya kurang mewakili seluruh pertemuan itu. 

Namun, tak bisa dipungkiri kalau ternyata masih banyak orang yang tidak memanfaatkan vitur video dan kamera yang terdapat di masing-masing perangkat. Dalam dunia pendidikan misalnya. Agaknya sangat aneh apabila guru mengajar ketika semua video anak-anaknya dalam posisi off. 

Guru hanya menatap sebidang layar dengan kotak-kotak hitam tanpa profil (kalau anak-anaknya juga malu membuat profil foto sendiri), berisi tulisan nama saja. Yang mengenaskan lagi apabila siswa-siswanya juga tidak merespon apa-apa. Suasana menjadi beku dan kaku. Yang terjadi adalah dialog monolog antara guru dan layar. Ketiadaan tatap muka secara fisik ini tampaknya akan mengubah dunia pendidikan masa kini.

Hal yang sama juga terjadi saat meeting online dengan orang lain. Kecenderungan untuk tidak menampakkan wajah sepertinya mengurangi value-value yang kita anut tentang unggah-ungguh dan kesopanan. 

Bagaimana rasanya kita bertemu dengan orang baru, tapi wajahnya saja kita tidak tahu dan sudah diminta untuk berkomunikasi, khususnya untuk membicarakan hal-hal yang sangat penting. Ada sesuatu yang kurang atau hilang dalam menjalin hubungan yang lebih baik. Esensi tentang membangun relasi dan komunikasi menjadi berubah. Suara terasa cukup untuk mewakili itu semua. 

Padahal, dalam berkomunikasi, gestur sangat mempengaruhi. Bahkan peribahasa pun menyebutkan "Tak kenal maka tak sayang". Bagaimana mungkin kita bisa saling mengenal atau bahkan menjalin relasi berkelanjutan kalau kita pun berkomunikasi dengan fitur yang sudah disediakan pun masih tidak kita pergunakan. 

Bagaimana mungkin sebuah kerjasama terbentuk apabila mengenal wajahnya saja kita tak pernah tahu. Bayangkan kalau Anda pengen punya pacar dan bertemu online. Mungkin komunikasi lewat chat cukup untuk merangsang pertemuan berikutnya. 

Lalu bagaimana jika Anda sudah bertelekonferensi, tetapi tak saling menampakkan wajah? Saya rasa Anda tidak kepengen menjadi pacarnya deh. Intinya: etika di masa-masa online ini menjadi terdegradasi karena itu. Seharusnya, alasan-alasan itu tidak menjadikan kita menjadi krisis etika.

Sadar atau tidak, video off seakan menjadi pilihan yang tersedia untuk melarikan diri dari berbagai kepentingan. Dengan tidak menyalakan video, sebenarnya kita telah mencoba menjaga jarak, menjauh dari beberapa hal yang mungkin bukan prioritas atau tanggung jawab kita. 

Sebagai contoh berikut ini: seumpama kita adalah siswa. Karena kita hanya sebagai penerima (baca: pembelajar), kecenderungan akan memilih untuk pasif sehingga tidak merasa ada tanggung jawab. Akibatnya, guru hanya sekadar suara, mirip seperti radio, yang dirasa perlu atau tidak perlu didengarkan. Maka, pilihan untuk tidak menyimak dapat dilakukan dengan mematikan kamera sehingga siswa mengambil keputusan untuk menjaga jarak, menghilangkan diri dan melakukan aktivitas lain.

Sebenarnya, analogi ini sama halnya ketika kita mengikuti webinar-webinar yang dilakukan secara daring. Keputusan untuk menyimak atau tidak, ada pada tangan si pendengar. Lain halnya dengan si pembicara yang memiliki tanggung jawab moral untuk menyalakan video dan memperkenalkan dirinya kepada khalayak. 

Akan berbeda suasananya apabila dalam webinar tersebut, semua orang dalam posisi kamera dimatikan. Yang tampak hanyalah kotak-kotak hitam dan tulisan profil akunnya. Betapa membosankan dan mengerikan. Pertemuan yang seharusnya 'live' akan berubah menjadi sebuah tontonan yang monoton. Kalau sudah begitu, lebih baik mendengarkan radio ketimbang berada di sana tanpa ada sesuatu yang disaksikan.

Nah, ketika kita memilih untuk mematikan kamera, sebenarnya kita telah melakukan keputusan yang dapat berdampak negatif dan positif. Saya mencoba untuk melihat dari dua perspektif. 

Pertama, akan menjadi negatif apabila kita hadir, tapi hanya sekadar hadir, tidak menyimak, dan hanya membuang-buang waktu. Apalagi dari awal sudah skeptis tapi tetap saja di sana tanpa mendapatkan apa-apa. Selain rugi waktu, Anda juga rugi pikiran dan menjadi tidak produktif. 

Kedua, berdasarkan value unggah-ungguh, mematikan video sebenarnya mengurangi esensi etika kesopanan, khususnya ketika yang hadir hanya 2 atau 3 orang. Apalagi ketika yang Anda hadapi adalah orang-orang penting. Sebut saja misalnya pertemuan dengan bos, klien, atau dalam wawancara kerja. Saya rasa, Anda akan dicap kurang 'sopan' ketika tak sekalipun berusaha menampakkan diri. Kecuali kalau alasannya jelas, semisal karena gangguan internet, Anda sudah berusaha menampilkan video, tapi tersendat. Saya rasa itu bisa dimaklumi. 

Ketiga, mungkin akan terjadi kesalahpahaman antara si pembicara dan si pendengar. Si pembicara akan merasa tidak dihargai karena tidak dapat melihat respon pendengarnya. Ibarat kata, ia seolah berbicara kepada tembok. Akibatnya, pembicara yang tidak bisa interaktif akan begitu-begitu saja, sedangkan si pendengar akan mudah bosan dan cenderung melakukan hal lain.

Nah, kalau dilihat dari sisi positifnya, bisa jadi memang terdapat beberapa orang yang 'introvert'. Orang-orang yang tidak percaya dengan dirinya sendiri akan memilih untuk berdiam diri, menyimak, tapi tidak percaya diri untuk menampilkan wajahnya di depan orang. 

Penyebabnya jelas: malu. 

Berkebalikan dengan itu, ada orang-orang yang betul-betul memperhatikan unggah-ungguh. Mereka menyapa, menampilkan diri, dan aktif dalam pertemuan. Seharusnya sih begini. Pertemuan terasa bermakna karena adanya interaksi kedua belah pihak. Hal ini biasanya terjadi saat kita sudah saling mengenal dan lama tidak bertemu. Ada kecenderungan untuk terlibat lebih aktif dan bertahan dalam durasi yang lama.

Yang terakhir adalah orang-orang yang multitasking. Di masa pandemi ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi saat bekerja daring. Anda bisa menjadi produktif atau tidak sama sekali. Berbicara tentang tidak produktif, saya rasa mungkin karena kejenuhan yang luar biasa sehingga mengakibatkan kelelahan. 

Akibatnya, karena belum terbiasa, produktivitas menjadi menurun karena dipengaruhi oleh faktor internal lainnya seperti gangguan di rumah hingga godaan untuk lebih 'nyantai' ketimbang sibuk dan produktif seperti di kantor. Sebaliknya, orang-orang yang produktif adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka bisa melihat kesempatan untuk berkarya atau pun menghasilkan uang.

Khusus saat telekonferensi daring, dengan mematikan video, ada beberapa orang yang mampu bekerja secara multitasking. Apakah ini termasuk yang produktif? Ketika tangan tak berhenti mengeklik bar di laptop, chatting lewat WA, LINE, email, hingga mengerjakan berbagai tugas di waktu yang bersamaan. Kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada berbagai hal patut dipertanyakan. 

Mungkinkah? Dengan memadukan audio, visual, dan kinestetiknya, mereka dapat beroperasi pada banyak hal dengan tingkat konsentrasi yang sama? Sambil mendengarkan, mereka bisa menyelesaikan berbagai pekerjaan dengan kualitas yang sama?  Kedengarannya memang tidak meyakinkan. Apakah Anda pernah mengalami hal yang sama?

Terlepas dari benar atau tidaknya, saya rasa berbagai riset menyimpulkan bahwa multitasking kurang begitu efisien dan tidak baik bagi kesehatan. Menurut saya, dalam konteks telekonferensi video off, menjadi multitasking seolah menjadi pilihan lain (atau bisa jadi godaan lain) untuk mengalihkan perhatian pada skala prioritas yang lain.

Kalau pertemuan itu dianggap penting, mungkin kita akan cenderung menyimak. Kalau sebaliknya, bisa jadi kita akan memilih untuk melakukan hal yang lain yang lebih prioritas. Akibatnya, kita memilih mematikan video dan mengerjakan hal lain. 

Tapi yang pasti, kualitas untuk fokus mengerjakan pada satu hal akan lebih tinggi dibandingkan pada berbagai hal yang dikerjakan di saat yang bersamaan. Persoalan ketika video off menjadi tanda-tanda produktif, agaknya perlu dibuktikan lagi. 

Selain karena persoalan etika, kualitas multitasking-nya masih perlu dibuktikan lagi. Bisa jadi ada benarnya, bisa jadi juga tidak. Nah, bagi kalian pecinta video off, mungkin bisa berbagi kisahnya. Siapa tahu ada perspektif lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun