Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Kompas dan Penulis yang Bahagia

Pecinta Kompas, penulis bebas yang bahagia. IG: @belfinpaians FB: belfin paian siahaan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Video Off Menjadi Tanda-tanda Produktif?

18 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 18 Februari 2021   08:12 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal yang sama juga terjadi saat meeting online dengan orang lain. Kecenderungan untuk tidak menampakkan wajah sepertinya mengurangi value-value yang kita anut tentang unggah-ungguh dan kesopanan. 

Bagaimana rasanya kita bertemu dengan orang baru, tapi wajahnya saja kita tidak tahu dan sudah diminta untuk berkomunikasi, khususnya untuk membicarakan hal-hal yang sangat penting. Ada sesuatu yang kurang atau hilang dalam menjalin hubungan yang lebih baik. Esensi tentang membangun relasi dan komunikasi menjadi berubah. Suara terasa cukup untuk mewakili itu semua. 

Padahal, dalam berkomunikasi, gestur sangat mempengaruhi. Bahkan peribahasa pun menyebutkan "Tak kenal maka tak sayang". Bagaimana mungkin kita bisa saling mengenal atau bahkan menjalin relasi berkelanjutan kalau kita pun berkomunikasi dengan fitur yang sudah disediakan pun masih tidak kita pergunakan. 

Bagaimana mungkin sebuah kerjasama terbentuk apabila mengenal wajahnya saja kita tak pernah tahu. Bayangkan kalau Anda pengen punya pacar dan bertemu online. Mungkin komunikasi lewat chat cukup untuk merangsang pertemuan berikutnya. 

Lalu bagaimana jika Anda sudah bertelekonferensi, tetapi tak saling menampakkan wajah? Saya rasa Anda tidak kepengen menjadi pacarnya deh. Intinya: etika di masa-masa online ini menjadi terdegradasi karena itu. Seharusnya, alasan-alasan itu tidak menjadikan kita menjadi krisis etika.

Sadar atau tidak, video off seakan menjadi pilihan yang tersedia untuk melarikan diri dari berbagai kepentingan. Dengan tidak menyalakan video, sebenarnya kita telah mencoba menjaga jarak, menjauh dari beberapa hal yang mungkin bukan prioritas atau tanggung jawab kita. 

Sebagai contoh berikut ini: seumpama kita adalah siswa. Karena kita hanya sebagai penerima (baca: pembelajar), kecenderungan akan memilih untuk pasif sehingga tidak merasa ada tanggung jawab. Akibatnya, guru hanya sekadar suara, mirip seperti radio, yang dirasa perlu atau tidak perlu didengarkan. Maka, pilihan untuk tidak menyimak dapat dilakukan dengan mematikan kamera sehingga siswa mengambil keputusan untuk menjaga jarak, menghilangkan diri dan melakukan aktivitas lain.

Sebenarnya, analogi ini sama halnya ketika kita mengikuti webinar-webinar yang dilakukan secara daring. Keputusan untuk menyimak atau tidak, ada pada tangan si pendengar. Lain halnya dengan si pembicara yang memiliki tanggung jawab moral untuk menyalakan video dan memperkenalkan dirinya kepada khalayak. 

Akan berbeda suasananya apabila dalam webinar tersebut, semua orang dalam posisi kamera dimatikan. Yang tampak hanyalah kotak-kotak hitam dan tulisan profil akunnya. Betapa membosankan dan mengerikan. Pertemuan yang seharusnya 'live' akan berubah menjadi sebuah tontonan yang monoton. Kalau sudah begitu, lebih baik mendengarkan radio ketimbang berada di sana tanpa ada sesuatu yang disaksikan.

Nah, ketika kita memilih untuk mematikan kamera, sebenarnya kita telah melakukan keputusan yang dapat berdampak negatif dan positif. Saya mencoba untuk melihat dari dua perspektif. 

Pertama, akan menjadi negatif apabila kita hadir, tapi hanya sekadar hadir, tidak menyimak, dan hanya membuang-buang waktu. Apalagi dari awal sudah skeptis tapi tetap saja di sana tanpa mendapatkan apa-apa. Selain rugi waktu, Anda juga rugi pikiran dan menjadi tidak produktif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun