Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bukan Pornografi, tetapi Literasi Tubuh: Cara Baru Bicara Seks di Sekolah

14 Oktober 2025   08:57 Diperbarui: 16 Oktober 2025   08:36 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesi edukasi kesehatan reproduksi di sekolah: siswa belajar mengenali perubahan tubuh dan batas pribadi dengan rasa aman. Sumber: Dokpri - Gen AI

Saat itu, seorang murid laki-laki saya sedang presentasi di depan kelas. Suaranya terdengar berbeda lebih berat, lebih dalam dibanding saat ia masih di kelas tujuh.

"Eh, kok suaramu berubah?" tanya salah satu temannya spontan. Seisi kelas tertawa. Ia tersenyum kikuk, tak tahu harus bagaimana.

Tak ada yang bermaksud jahat. Tapi di balik tawa itu, saya tahu tak satu pun dari mereka benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Perubahan suara itu bukan lelucon, melainkan tanda tubuh yang mulai beranjak dewasa. Namun, di sekolah, belum ada ruang aman untuk membicarakannya.

Anak-anak bukan tidak sopan; mereka hanya belum punya bahasa untuk memahami tubuh dan batas pribadinya.
Mereka sedang tumbuh, tapi kita orang dewasa masih sering diam, bingung, atau bahkan menghindar untuk menjelaskan.

Ketidaktahuan yang Nyata di Sekolah

Fenomena seperti itu bukan hal baru. Beberapa kali, saya mendapati siswa laki-laki bertingkah tak pantas di kelas menggaruk kelamin di depan teman-temannya tanpa merasa risih. Ada pula yang meniru gaya bicara atau candaan vulgar dari media sosial seolah itu hal biasa. 

Saya tidak langsung menilai mereka nakal. Hal yang saya pikirkan justru: apakah mereka tahu bagaimana seharusnya bersikap terhadap tubuh mereka sendiri?

Banyak remaja di Indonesia masih memahami kesehatan reproduksi sebatas urusan biologis: menstruasi, mimpi basah, atau perubahan fisik lainnya.
Padahal, ada sisi lain yang tak kalah penting tentang menghargai tubuh sendiri, memahami batas personal, dan kesiapan mental menghadapi masa puber.

Sebuah riset kolaborasi Save the Children Indonesia dan CYAN (2023) menegaskan hal ini: sebagian besar remaja belum memiliki pemahaman utuh tentang aspek sosial dan emosional dari kesehatan reproduksi. Ironisnya, mereka juga sering mencari jawaban sendiri di dunia maya.

UNICEF (2022) mencatat, hanya sekitar 39 persen remaja Indonesia yang pernah menerima informasi memadai tentang kesehatan reproduksi dari sumber resmi. Sisanya? Belajar dari teman, media sosial, atau situs acak yang belum tentu benar.

Dari Diam ke Berani Bicara

Di sekolah saya, langkah kecil sudah dimulai. Kami mengadakan seminar pendidikan seks dengan pemisahan peserta antara perempuan dan laki-laki.

Pemisahan ini bukan untuk membedakan, melainkan agar siswa merasa lebih nyaman berbicara dan bertanya tanpa rasa malu.
Banyak hal bersifat personal, dan dengan ruang terpisah, mereka bisa lebih terbuka untuk berdiskusi sesuai kebutuhan masing-masing.

Narasumbernya berasal dari Puskesmas setempat, dengan materi yang disesuaikan usia. Kegiatan ini biasanya diadakan setelah ulangan tengah semester, menggantikan acara class meeting yang biasa diisi lomba.

Awalnya, sebagian guru merasa canggung. Namun setelah beberapa kali pelaksanaan, kami mulai melihat perubahan kecil yang berarti. Anak-anak lebih berani bertanya, lebih menghargai batas diri dan teman sebayanya.

Beberapa bahkan datang ke guru BK untuk berkonsultasi tentang perubahan tubuhnya tanpa takut dihakimi. Inilah yang disebut ruang aman: tempat di mana anak bisa bertanya tanpa ditertawakan, dan guru bisa menjawab tanpa rasa tabu.

Edukasi Seks Bukan Soal Pornografi, Tapi Soal Martabat

Sayangnya, sebagian orang tua masih menganggap pendidikan seks identik dengan hal "jorok" atau "tidak pantas dibicarakan".
Padahal, yang dimaksud bukan mengajarkan hubungan seksual, melainkan pemahaman diri dan penghormatan terhadap tubuh sendiri serta orang lain.

Anak yang paham tentang tubuhnya akan lebih mudah berkata "tidak" ketika merasa tidak nyaman. Mereka juga lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan atau pelecehan yang mungkin terjadi di sekitar mereka. Ketika pendidikan seks diabaikan, anak mencari jawaban sendiri dan sayangnya, sering dari sumber yang salah. Tak heran jika video, konten, atau situs pornografi akhirnya mengambil alih peran guru dan orang tua dalam memberi penjelasan.

Inilah bahaya dari diam terlalu lama: anak belajar tanpa pendampingan, dan rasa ingin tahu mereka dijawab oleh dunia maya yang sering kali tanpa nilai moral.

Menyiapkan Generasi yang Paham Batas dan Empati

Edukasi seks tidak harus rumit atau kaku. Kuncinya adalah komunikasi yang jujur dan empatik. Guru tidak perlu menjadi ahli biologi atau psikolog. Hal yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk membuka ruang dengar dan ruang bicara.

Sekolah adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai dasar: bahwa setiap tubuh berharga dan layak dihormati. Bahwa memahami tubuh bukan hal memalukan, melainkan bagian dari proses tumbuh dewasa yang sehat. Namun, sekolah tidak bisa berjalan sendiri.
Orang tua juga memegang peran penting dalam melanjutkan percakapan di rumah.

Mereka bisa mulai dengan hal sederhana misalnya menjawab pertanyaan anak tentang perubahan tubuh dengan jujur dan tenang. Ketika anak bertanya,

"Kenapa suaraku sekarang jadi berat, Bu?"
atau "Kok di tubuhku mulai tumbuh rambut, ya?"

orang tua bisa menjawab,

"Itu tandanya kamu sedang tumbuh dan tubuhmu mulai berubah seperti orang dewasa. Semua anak akan melewati fase itu."

Tanpa perlu penjelasan panjang, kalimat sederhana seperti itu sudah cukup membuat anak merasa diterima dan tidak malu atas perubahan dirinya.

Namun, tidak semua anak berani bertanya. Dalam kasus seperti ini, orang tua bisa memulai percakapan secara ringan, misalnya saat menonton film atau iklan yang menyinggung masa pubertas. Bisa dengan kalimat pembuka seperti,

"Kamu pernah merasa tubuhmu berubah akhir-akhir ini?"
atau
"Kalau kamu ingin tahu soal hal-hal seperti ini, kamu boleh tanya ke Ibu atau Bapak kapan saja."

Dengan begitu, anak tahu bahwa rumah adalah tempat yang aman untuk berbicara tentang tubuh, perasaan, dan batas pribadi tanpa takut ditertawakan atau dimarahi.
Percakapan sederhana seperti ini membangun rasa percaya dan keterbukaan yang menjadi fondasi penting dalam pendidikan seks sejak dini.

Jika sekolah dan keluarga berjalan seiring, anak akan tumbuh dengan pemahaman yang seimbang:
bahwa menghormati diri sendiri juga berarti menghormati orang lain. Dari sanalah empati, rasa aman, serta kesadaran diri tumbuh.

Mari Mulai dari Sekolah dan Rumah Kita Sendiri

Mungkin kita tidak bisa mengubah sistem besar dalam semalam. Tapi kita bisa memulai dari langkah kecil: satu kelas, satu seminar, satu percakapan di ruang keluarga. 

Sebab pendidikan seks bukan sekadar soal biologi, melainkan tentang martabat manusia dan masa depan generasi. Mungkin, perubahan itu bisa dimulai dari satu hal sederhana: seorang anak laki-laki yang suaranya berubah dan orang dewasa yang memilih untuk tidak lagi diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun