Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Pornografi, Tapi Literasi Tubuh: Cara Baru Bicara Seks di Sekolah

14 Oktober 2025   08:57 Diperbarui: 14 Oktober 2025   08:57 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesi edukasi kesehatan reproduksi di sekolah: siswa belajar mengenali perubahan tubuh dan batas pribadi dengan rasa aman. Sumber: Dokpri - Gen AI

Saat itu, seorang murid laki-laki saya sedang presentasi di depan kelas. Suaranya terdengar berbeda lebih berat, lebih dalam dibanding saat ia masih di kelas tujuh.

"Eh, kok suaramu berubah?" tanya salah satu temannya spontan. Seisi kelas tertawa. Ia tersenyum kikuk, tak tahu harus bagaimana.

Tak ada yang bermaksud jahat. Tapi di balik tawa itu, saya tahu tak satu pun dari mereka benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Perubahan suara itu bukan lelucon, melainkan tanda tubuh yang mulai beranjak dewasa. Namun, di sekolah, belum ada ruang aman untuk membicarakannya.

Anak-anak bukan tidak sopan; mereka hanya belum punya bahasa untuk memahami tubuh dan batas pribadinya.
Mereka sedang tumbuh, tapi kita orang dewasa masih sering diam, bingung, atau bahkan menghindar untuk menjelaskan.

Ketidaktahuan yang Nyata di Sekolah

Fenomena seperti itu bukan hal baru. Beberapa kali, saya mendapati siswa laki-laki bertingkah tak pantas di kelas menggaruk kelamin di depan teman-temannya tanpa merasa risih. Ada pula yang meniru gaya bicara atau candaan vulgar dari media sosial seolah itu hal biasa. 

Saya tidak langsung menilai mereka nakal. Hal yang saya pikirkan justru: apakah mereka tahu bagaimana seharusnya bersikap terhadap tubuh mereka sendiri?

Banyak remaja di Indonesia masih memahami kesehatan reproduksi sebatas urusan biologis: menstruasi, mimpi basah, atau perubahan fisik lainnya.
Padahal, ada sisi lain yang tak kalah penting tentang menghargai tubuh sendiri, memahami batas personal, dan kesiapan mental menghadapi masa puber.

Sebuah riset kolaborasi Save the Children Indonesia dan CYAN (2023) menegaskan hal ini: sebagian besar remaja belum memiliki pemahaman utuh tentang aspek sosial dan emosional dari kesehatan reproduksi. Ironisnya, mereka juga sering mencari jawaban sendiri di dunia maya.

UNICEF (2022) mencatat, hanya sekitar 39 persen remaja Indonesia yang pernah menerima informasi memadai tentang kesehatan reproduksi dari sumber resmi. Sisanya? Belajar dari teman, media sosial, atau situs acak yang belum tentu benar.

Dari Diam ke Berani Bicara

Di sekolah saya, langkah kecil sudah dimulai. Kami mengadakan seminar pendidikan seks dengan pemisahan peserta antara perempuan dan laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun