orang tua bisa menjawab,
"Itu tandanya kamu sedang tumbuh dan tubuhmu mulai berubah seperti orang dewasa. Semua anak akan melewati fase itu."
Tanpa perlu penjelasan panjang, kalimat sederhana seperti itu sudah cukup membuat anak merasa diterima dan tidak malu atas perubahan dirinya.
Namun, tidak semua anak berani bertanya. Dalam kasus seperti ini, orang tua bisa memulai percakapan secara ringan, misalnya saat menonton film atau iklan yang menyinggung masa pubertas. Bisa dengan kalimat pembuka seperti,
"Kamu pernah merasa tubuhmu berubah akhir-akhir ini?"
atau
"Kalau kamu ingin tahu soal hal-hal seperti ini, kamu boleh tanya ke Ibu atau Bapak kapan saja."
Dengan begitu, anak tahu bahwa rumah adalah tempat yang aman untuk berbicara tentang tubuh, perasaan, dan batas pribadi tanpa takut ditertawakan atau dimarahi.
Percakapan sederhana seperti ini membangun rasa percaya dan keterbukaan yang menjadi fondasi penting dalam pendidikan seks sejak dini.
Jika sekolah dan keluarga berjalan seiring, anak akan tumbuh dengan pemahaman yang seimbang:
bahwa menghormati diri sendiri juga berarti menghormati orang lain. Dari sanalah empati, rasa aman, serta kesadaran diri tumbuh.
Mari Mulai dari Sekolah dan Rumah Kita Sendiri
Mungkin kita tidak bisa mengubah sistem besar dalam semalam. Tapi kita bisa memulai dari langkah kecil: satu kelas, satu seminar, satu percakapan di ruang keluarga.Â
Sebab pendidikan seks bukan sekadar soal biologi, melainkan tentang martabat manusia dan masa depan generasi. Mungkin, perubahan itu bisa dimulai dari satu hal sederhana: seorang anak laki-laki yang suaranya berubah dan orang dewasa yang memilih untuk tidak lagi diam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI