Ada pula guru yang menggunakan game hanya pada akhir bab sebagai review. Dengan begitu, game menjadi penghargaan setelah belajar serius, bukan pengalih perhatian.
Inovasi sejati bukan soal mengikuti tren, melainkan soal menyesuaikan metode dengan kebutuhan nyata kelas.
Solusi dan Jalan Tengah
Lalu, bagaimana menyikapi fenomena ini?
Pertama, gunakan game secara selektif. Pilih momen yang tepat, misalnya saat mengulang materi, kuis akhir, atau sekadar ice breaking.
Kedua, jangan abaikan metode klasik. Diskusi, tanya jawab, atau praktik nyata tetap relevan. Ada nilai yang tidak bisa digantikan game, seperti kemampuan berargumentasi, keberanian menyampaikan pendapat, dan empati dalam berdiskusi.
Ketiga, libatkan siswa dalam menentukan metode. Tanyakan pada mereka apa yang paling membantu. Dengan begitu, guru tidak terjebak pada asumsi bahwa semua murid menyukai game.
Keempat, jadikan game sebagai alat, bukan tujuan. Inovasi sejati lahir dari kemampuan guru meramu metode yang sesuai, bukan dari seberapa sering aplikasi dipakai.
Mengajar atau Menghibur?
Saya teringat kembali pada kelas di awal tulisan ini. Murid bersorak ketika tahu akan ada game. Namun, di akhir pelajaran, saat saya menanyakan kembali isi materi, sebagian besar hanya mengingat siapa pemenangnya.
Di titik itu, saya sadar bahwa game memang menyenangkan, tetapi tidak otomatis mendalam. Guru harus jernih menimbang: apakah ia sedang mengajar, atau sekadar menghibur?
Pendidikan yang baik tidak berhenti pada teknologi atau tren. Kreativitas guru diukur bukan dari seberapa sering memakai game, melainkan dari ketepatan memilih cara.
Mari gunakan game dengan bijak. Bukan karena tren, melainkan karena kebutuhan belajar anak. Sebab tujuan pendidikan bukan mencetak juara leaderboard, melainkan membentuk manusia yang mampu berpikir, merasakan, dan bertindak bijak.