Selain itu, format digital memberi kesempatan lebih luas bagi siswa yang pemalu. Mereka merasa lebih aman ikut berpartisipasi. Bagi generasi Z dan Alpha yang akrab dengan gawai, game adalah bahasa sehari-hari. Ketika guru memanfaatkannya, terbangun jembatan komunikasi yang membuat murid merasa dunia mereka dihargai.
Risiko dan Batasan Game
Namun, tidak semua pengalaman berakhir menyenangkan.
Saya pernah melihat murid lebih fokus menunggu leaderboard dibanding memahami materi. Mereka mengingat siapa juara, tetapi lupa isi pertanyaan.
Tidak semua materi juga cocok disampaikan lewat game. Konsep abstrak seperti analisis sastra, filsafat, atau nilai sosial tidak mudah disederhanakan dalam soal pilihan ganda.
Ada pula guru yang merasa tertekan. Mereka khawatir dianggap ketinggalan zaman jika tidak memakai game. Akhirnya, permainan digunakan bukan karena relevan, melainkan demi pencitraan kelas "inovatif".
Risiko lain adalah distraksi. Siswa bisa terjebak dalam semangat kompetisi menang atau kalah hingga melupakan tujuan belajar.
Sebuah riset dari Universitas Indonesia (2022) mencatat, 42% siswa lebih mengingat peringkat akhir daripada isi materi setelah belajar dengan game digital. Data ini menjadi alarm bahwa euforia bisa menutupi substansi.
Apakah Game Sebuah Keharusan?
Pertanyaan pun muncul: apakah guru wajib membawa game setiap kali mengajar?
Jawabannya jelas: tidak. Game hanyalah salah satu metode, bukan satu-satunya.
Pendidikan bukan ajang mencari siapa yang paling digital. Intinya adalah bagaimana siswa memahami, menghayati, dan mampu menerapkan ilmu. Jika game membantu, gunakan. Tetapi jika tidak relevan, jangan dipaksakan.
Saya pernah melihat guru yang bijak mengombinasikan metode. Ia membuka kelas dengan game singkat untuk mencairkan suasana, lalu melanjutkan dengan diskusi kelompok. Hasilnya lebih seimbang. Murid tetap bersemangat sekaligus mendapat ruang berpikir mendalam.