Pernahkah Anda masuk ke sebuah kafe, lalu merasa seperti dibawa ke dunia lain?
Bukan karena dekorasinya, bukan pula karena aroma kopinya semata, tetapi karena ada alunan musik yang menyelinap pelan ke telinga. Seolah setiap nada merangkai kenangan dan mengikat kita untuk duduk sedikit lebih lama.
Saat Nada dan Aroma Menyapa Bersamaan
Begitu pintu kaca saya dorong, aroma kopi langsung menyapa. Wangi robusta dan arabika bercampur dengan semerbak kue yang baru keluar dari oven. Di sudut ruangan, gitar akustik mengalun pelan, suaranya tak terlalu keras cukup untuk menjadi latar yang memeluk setiap percakapan. Saya menaruh tas, menyalakan laptop, dan tanpa sadar ikut bersenandung mengikuti irama.
Ritual Sebelum Menjadi Ibu
Dulu, ini adalah kebiasaan yang sering saya ulang. Duduk di pojok kafe, menatap layar laptop, sambil membiarkan musik mengalir ke telinga. Terkadang saya datang untuk menyelesaikan administrasi sekolah, menyiapkan materi ajar, atau sekadar berbagi tawa dengan teman sejawat. Rasanya seperti menemukan ruang kecil yang hanya milik saya, jauh dari hiruk-pikuk rumah dan sekolah.
Ketika Nongkrong Jadi Lebih Singkat
Setelah menjadi ibu, waktu nongkrong di kafe terasa seperti kemewahan. Kalaupun sempat, biasanya hanya sebentar bersama suami. Kami duduk berdampingan, menikmati dinginnya ruangan ber-AC, menyeruput es coklat manis, dan ikut bernyanyi pelan mengikuti lagu yang diputar. Singkat, tetapi cukup untuk menghidupkan kembali rasa yang dulu pernah ada.
Musik Tak Pernah Benar-Benar Gratis
Di balik setiap lagu yang mengalun di kafe, ada kisah yang jarang disadari. Pemilik kafe tidak bisa memutar lagu sembarangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, setiap usaha yang memutar musik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Bayangkan, lagu yang kita nikmati sambil menyeruput kopi adalah hasil kerja keras yang pantas dihargai.
Dilema di Balik Meja Kasir
Bagi pemilik kafe, aturan ini membawa konsekuensi. Ada yang memilih membayar royalti agar bisa terus memutar musik berlisensi. Ada pula yang beralih ke lagu bebas hak cipta atau menghadirkan musik live. "Kami paham pentingnya bayar royalti, tapi biayanya kadang berat, apalagi kalau pengunjung sepi," ujar Erik, pemilik kafe di Bandung. "Akhirnya, kami sering mengundang musisi lokal. Lebih hemat, dan suasananya juga lebih hidup."
Musik Sebagai Bumbu Kenangan
Bagi saya, musik di kafe adalah bumbu. Tanpanya, suasana terasa hambar. Sama seperti makanan tanpa garam tetap mengenyangkan, tetapi tak membekas di ingatan. Musik mengubah rasa kopi yang pahit menjadi pengalaman yang manis. Ia adalah latar yang menyempurnakan percakapan dan mengisi jeda di antara tawa.
Menemukan Titik Tengah
Menghargai hak cipta adalah kewajiban, tetapi menjaga atmosfer kafe juga penting. Beberapa pemilik kafe memilih solusi kreatif: mengundang musisi lokal, memutar lagu bebas royalti dari platform legal, atau bekerja sama dengan komunitas musik. Dengan begitu, pengunjung tetap mendapatkan suasana yang hangat, musisi mendapat apresiasi, dan pemilik usaha tidak terbebani.
Kenangan yang Membuat Ingin Kembali
Pada akhirnya, secangkir kopi, denting gelas, dan lantunan lagu di sudut kafe bukan sekadar hiburan. Ia adalah pengikat kenangan. Kenangan yang membuat kita ingin kembali, meski waktu sudah berlalu jauh. Mungkin itulah alasan saya masih mencari celah waktu untuk sekadar mampir karena di balik setiap tegukan kopi, ada harmoni yang menyatukan rasa, suasana, dan cerita.
F. Dafrosa