Mohon tunggu...
Bingar Bimantara
Bingar Bimantara Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Mager

Seorang anak petani yang sekarang berjuang menjadi sarjana. Sering patah hati namun tak pernah putus harapan. Berusaha menyibukkan diri agar tidak luntang-lantung di kos.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kekuasaan Tertinggi di Tangan Rakyat adalah Pemanis Demokrasi

26 Juni 2019   16:28 Diperbarui: 26 Juni 2019   16:43 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanah airku tanah tumpah darahku. Tanah rumahku digusur tak ada ampun, sedang airku dipegang para pemodal.

Bangsaku dijuluki negara maritim. Berjaya di laut kisah nenek moyang jaman dulu. Namun kenapa sekarang laut sendiri sengaja di uruk dengan pulau sintetis palsu.

***

Proyek tanggul raksasa di Teluk Jakarta kembali dilanjutkan. Ini akibat dari sikap plin-plan pemegang kekuasaan para pejabat yang ada di kahyangan sana. Proyek ini diklaim untuk mencegah tenggelamnya Ibu Kota, namun apakah dengan cara ide gila semacam ini efektif mencengah penurunan tanah dan ancaman Ibukota tenggelam?

Proyek ini sempat mangkrak terkait izin lingkungan, aspek sosial dan dampak lingkunagan yang akan menjadi imbasnya. Sungguh negara kita negara hukum, kekuasaan berada di tangan rakyat. Sayang sekali teori telah bergeser, kekuasaan tertinggi ada di tangan pemodal.

Proyek reklamasi tersebut tidak pernah memperhatikan aspek lingkungan dan sosial yang ada di sekitar. Kepentingan bisnislah menjadi faktor yang dominan. Katanya untuk kepentingan rakyat, iya benar untuk rakyat tapi yang kaya raya.

Bisa dilihat dari pengembangan di pulau-pulau yang tengah dan akan melakukan reklamasi. Semuanya adalah pihak swasta yang sering membangun hunian mewah para bangkir, rintenir, koruptor, dan para juragan. Belum cukupkah kita ada lebih 17.000 pulau yang kita miliki saat ini?

Hingga perlu dan kurang akal untuk membuat pulau buatan di negara kepulauan terbesar di dunia. Kedepan pulau-pulau reklamasi tersebut akan dihuni oleh para juragan yang punya uang. Menciptakan sebuah lingkungan kelas elit  yang serba ada seperti surga cabang di dunia.

Beginikah parameter ekonomi berkembang dan mengalami kemajuan? Beginikah parameter dari menurunnya angka kemiskinan? Melihat bagaimana para nelayan di pesisir utara Jakarta hanya bisa melongo melihat lautnya telah habis teruruk menjadi pulau imitasi. Serta gedung-gedung tinggi pencakar langit yang menyilaukan.

Ketika kapitalisasi telah masuk ke semua lini kehidupan, beginilah yang terjadi. Rasa kemanusiaan yang  tergadaikan oleh keuntungan para pemodal yang ada. Sangat miris ketika negara maritim harus melihat para nelayan yang mendadak pensiun dini dan alih profesi lain sebab lautnya habis diuruk.

Beginilah cara memajukan sebuah negara, dengan menyingkirkan orang miskin lalu membangun kompleks perumahan mewah sebagai ilusi agar rakyat kita terlihat tengah sejahtera dan tiap hari perpesta fora.

Selain aspek sosial tentu yang paling ringkan adalah masalah lingkungan. Kerusakan dan pencemaran ekosistem laut menjadi yang utama. Serta tidak ada jaminan bahwa proyek ini akan membantu Jakarta dalam mengurangi ancaman penurunan permukaan tanah. Proyek ini ngawur tidak memperhatikan faktor lingkungan dan sosial.

Secara yuridis diperlukan sebuah analisa yang obyektif terhadap kegiatan lingkungan hidup. Harus ada izin lingkungan, lalu perlu dilakukan Analisisa Dampak Lingkungan (Amdal) yang menjadi tolak ukur apakah proyek ini dapat diteruskan.

Melihat kebijakan yang dilakukan Gubernur Anies Baswedan yang sebelumnya memberhentikan soal reklamasi ini dan baru-baru ini mengeluarkan Ijin Mendirikan Bagunan (IMB) jelas bahwa ini adalah kebijakan yang plin plan tanpa ada analisa terkait dampak serta hanya  berorientasi pada pada bisnis dan keuntungan para pemodal. Anies menolak mencabut Pergub Nomor 2016 Tahun 2016 dengan alasan bangunan yang terlanjur didirikan lewat Pergub itu tak bisa dibongkar begitu saja.

Itulah saat kekuasaan rakyat bisa dibeli. Bagaimana birokasi tunduk pada pemegang modal. Serta hukum kita terbukti telah dikapitalisasi. Serta kita tidak pernah merasa sepenuhnya merdeka dan berdaulat. Derita rakyat menjadi korban, terpinggirkan dan dibungkam. Harus diam, tunduk, dan tidak perlu tahu banyak. Begitulah cara kita dibungkam.

Bila penurunan permukaan tanah atau resiko kemungkinan Ibu Kota tenggelam menjadi alibi untuk melakukan proyek ini kebohongan yang sempurna. Bahwa akibat dari penurunan permukaan tanah disebabkan kebutuhan air yang tinggi.

Selain itu beban tanah yang harus diterima setiap tahun terhada laju pembangunan yang kian lama kian pesat. Bila tanah di Ibu Kota bisa bicara mereka akan bilang bahwa mereka sudah lelah.

Perlu kita ketahui bahwa untuk mencegah permasalahan tersebut segera hentikan ekploitasi air tanah yang terjadi terus menerus.  Lalu perhatikan laju dari pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Ibu Kota.

Bila negara telah menjadi pengrusak dengan dalih kemakmuran. Bila negara telah menjadi tukang monopoli yang handal. Rakyat miskin dipinggirkan sedang konglomerat diagungkan. Warisan kolonial dan penjajah masih berlaku bagi mereka yang merasakan penindasan.

Hukumku mengatur Kekuasaan tertinggi di tangan rakyat namun kenapa berubah menjadi kekuasaan tertinggi berada ditangan pemodal?

Bingar Bimantara, 25 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun