Saya agak trauma dengan cinta. Pernah jatuh, bahkan berkali-kali, tetapi tidak pernah mendapatkannya kembali. Yang tertinggal hanya luka, rasa malu, dan sebuah pertanyaan getir, mengapa jatuh cinta kerap terasa seperti menjerumuskan diri ke jurang tanpa dasar? Dari sekadar pengakuan pribadi, pengalaman semacam ini ternyata jauh lebih umum, melintasi batas usia, kelas sosial, dan bahkan era. Cinta, yang dipuja sebagai sumber kebahagiaan, justru sering berfungsi sebagai mesin produksi trauma.
Penah 'jatuh tanpa cinta balasan' bukan sekadar pengalaman individual. Fenomena ini adalah struktur sosial yang terbentuk oleh ekspektasi budaya, norma relasi, hingga logika ekonomi. Kita diajarkan sejak kecil bahwa cinta adalah puncak kehidupan,dari dongeng, film, iklan, hingga algoritma media sosial. Narasi dominan menggambarkan cinta sebagai kesempurnaan, sesuatu yang wajib diraih agar hidup dianggap lengkap. Akibatnya, ketika cinta gagal, kegagalan itu terasa seperti kegagalan eksistensi diri.
Secara sosiologis, pengalaman patah cinta seharusnya dapat dipandang sebagai peristiwa biasa, sama seperti kegagalan bisnis atau karier. Namun, masyarakat kita memaksa cinta menjadi semacam ujian keberhasilan diri. Orang yang tidak mendapat balasan dianggap "kurang menarik", "kurang berharga", atau "tidak layak". Tekanan semacam ini menjadikan pengalaman ditolak bukan hanya luka personal, tetapi juga penghinaan sosial.
Psikologi modern menunjukkan bahwa trauma cinta yang tidak terbalas dapat menimbulkan rejection sensitivity, kepekaan berlebihan terhadap tanda-tanda penolakan berikutnya. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut mengikis rasa percaya diri, menumpulkan keberanian membangun relasi, bahkan melahirkan sinisme terhadap konsep cinta itu sendiri.
Di titik ini, cinta kehilangan substansinya. Cinta bukan lagi pengalaman emosional yang organik, melainkan institusi sosial yang menjerat. Kita seakan dipaksa untuk terus 'berinvestasi' dalam cinta, meskipun peluang balik modalnya sangat rendah. Kapitalisme bahkan mengeksploitasi kondisi ini. Industri hiburan, aplikasi kencan, hingga produk kecantikan hidup dari janji: "Jika kau berubah, kau akan dicintai." Akhirnya, jatuh cinta bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban yang dipasarkan sebagai tiket menuju kebahagiaan.
Sialnya, semakin cinta dipasarkan, semakin cinta menjauh dari realitas manusiawi. Hubungan antarindividu direduksi menjadi algoritma kecocokan, "swipe kanan" atau "left". Yang muncul adalah ilusi; kita percaya sedang mencari cinta, padahal sesungguhnya hanya sedang menukar citra. Tak heran, rasa jatuh tanpa balasan menjadi epidemi sunyi: banyak yang jatuh, sedikit yang benar-benar dipeluk.
Filsuf Jerman, Byung-Chul Han, pernah menyinggung bahwa masyarakat kini bergerak menuju masyarakat pencapaian (achievement society). Segala hal diukur dalam keberhasilan dan kegagalan, termasuk cinta. Alih-alih ruang bebas untuk merasakan, cinta berubah menjadi arena kompetisi. Logika kapitalisme menuntut kita untuk "menjual diri" sebagai paket menarik pendidikan, pekerjaan, wajah, tubuh, status sosial. Maka, penolakan dalam cinta sering terasa seperti penolakan terhadap keseluruhan eksistensi diri.
Jika ditarik lebih jauh, fenomena ini juga dapat dipahami melalui kacamata eksistensialisme. Sartre mengingatkan bahwa manusia kerap menjadikan "yang lain" sebagai cermin bagi keberadaannya. Kita ingin diakui, ingin diterima, ingin dicintai, karena di situlah kita merasa nyata. Ketika cinta tidak terbalas, yang gagal bukan hanya relasi, melainkan pengakuan akan eksistensi kita. Inilah alasan mengapa jatuh cinta tanpa balasan terasa traumatis. Pengalaman itu mengguncang fondasi keberadaan kita sendiri.
Bayangkan seseorang berdiri di tepi kolam renang. Ia melompat dengan penuh semangat, yakin ada air yang akan menyambut tubuhnya. Namun, ternyata kolam itu kosong. Orang tersebut jatuh keras, terluka, dan bingung. Mengapa ia diajarkan seumur hidup bahwa kolam itu penuh, padahal nyatanya hampa? Begitulah jatuh cinta tanpa balasan. Kita dilatih untuk percaya bahwa cinta akan selalu menampung, padahal kenyataan tidak sesederhana itu.
Analogi ini mengajarkan sesuatu yang penting. Masalahnya bukan pada keberanian untuk melompat, melainkan pada ilusi bahwa kolam itu pasti terisi. Masyarakat, budaya populer, bahkan pendidikan emosional kita selama ini berkonspirasi untuk menguatkan ilusi itu.
Apakah berarti kita harus berhenti jatuh cinta? Tidak. Yang perlu diubah adalah cara kita memahami cinta. Pertama, cinta tidak boleh diperlakukan sebagai instrumen pencapaian sosial. Cinta bukan medali, bukan bukti kesuksesan hidup, melainkan ruang interaksi yang alamiah, cair, dan tidak selalu simetris.
Kedua, pendidikan emosional harus menekankan bahwa penolakan bukanlah kegagalan diri. Menolak atau ditolak adalah bagian dari kebebasan manusia. Mengubah narasi ini akan mengurangi beban psikologis generasi muda yang mudah patah oleh cinta tak berbalas.
Ketiga, secara praktis, penting untuk memisahkan identitas diri dari respons orang lain. Kita tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain, sama seperti kita tidak bisa mengendalikan cuaca. Yang bisa dikendalikan adalah cara kita merespons. Psikologi positif menawarkan teknik seperti cognitive reframing: mengubah cara pandang terhadap penolakan dari ancaman menjadi peluang untuk mengenali diri lebih dalam.
Akhirnya, solusi paling rasional adalah menjadikan cinta sebagai ruang eksperimen kemanusiaan, bukan kompetisi sosial. Kita harus berani mengakui bahwa cinta memang tidak selalu berhasil, dan itu normal. Justru dari pengalaman jatuh,tanpa harus selalu dapat balasan,manusia belajar tentang kerentanan, empati, dan batas-batas eksistensinya.
Cinta, dengan demikian, bukan soal selalu mendapat pelukan balik, melainkan keberanian untuk tetap melompat meski tahu kolam itu bisa saja kosong. Yang harus dipelihara bukan jaminan diterima, melainkan ketahanan untuk bangkit kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI