Apakah berarti kita harus berhenti jatuh cinta? Tidak. Yang perlu diubah adalah cara kita memahami cinta. Pertama, cinta tidak boleh diperlakukan sebagai instrumen pencapaian sosial. Cinta bukan medali, bukan bukti kesuksesan hidup, melainkan ruang interaksi yang alamiah, cair, dan tidak selalu simetris.
Kedua, pendidikan emosional harus menekankan bahwa penolakan bukanlah kegagalan diri. Menolak atau ditolak adalah bagian dari kebebasan manusia. Mengubah narasi ini akan mengurangi beban psikologis generasi muda yang mudah patah oleh cinta tak berbalas.
Ketiga, secara praktis, penting untuk memisahkan identitas diri dari respons orang lain. Kita tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain, sama seperti kita tidak bisa mengendalikan cuaca. Yang bisa dikendalikan adalah cara kita merespons. Psikologi positif menawarkan teknik seperti cognitive reframing: mengubah cara pandang terhadap penolakan dari ancaman menjadi peluang untuk mengenali diri lebih dalam.
Akhirnya, solusi paling rasional adalah menjadikan cinta sebagai ruang eksperimen kemanusiaan, bukan kompetisi sosial. Kita harus berani mengakui bahwa cinta memang tidak selalu berhasil, dan itu normal. Justru dari pengalaman jatuh,tanpa harus selalu dapat balasan,manusia belajar tentang kerentanan, empati, dan batas-batas eksistensinya.
Cinta, dengan demikian, bukan soal selalu mendapat pelukan balik, melainkan keberanian untuk tetap melompat meski tahu kolam itu bisa saja kosong. Yang harus dipelihara bukan jaminan diterima, melainkan ketahanan untuk bangkit kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI