Ia datang dalam malam, tidak untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan; bahwa setiap jiwa akan kembali ke asalnya.
Menyambut Hari Raya Nyepi, kami mempersembahkan Ogoh-Ogoh bertajuk "Cegingan" personifikasi takdir dalam rupa mitos burung gaib yang melegenda dalam sebagian narasi masyarakat Bali.
Lebih dari sekadar burung hantu bersuara melengking dan mencekam, Cegingan menjelma sebagai pertanda misterius dari batas antara dunia dan akhirat. Ia bukan hanya simbol kematian, tetapi juga penanda perjalanan jiwa menuju fase baru dalam lingkaran abadi Samsara.
Dalam filsafat Hindu Bali, kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang suci menuju kelahiran kembali. Maka suara Cegingan bukan sekadar isyarat duka, tetapi irama pengantar ruh menuju kesadaran yang lebih tinggi. Setiap pekikannya di malam sunyi dipercaya sebagai panggilan halus bagi jiwa-jiwa yang telah ditakdirkan.
Inspirasi inilah yang melandasi visualisasi Ogoh-Ogoh Cegingan sebagai simbol pembersihan diri, pembakaran ego, dan penghancuran energi-energi negatif yang menghalangi kemurnian jiwa. Layaknya ritual Tawur Agung sebelum Nyepi, Ogoh-Ogoh ini menjadi representasi kekuatan alam bawah sadar yang harus dihadapi dan ditransformasikan.
Dalam mitologi Bali, Cegingan hadir dalam dua rupa:
- Sebagai burung suci penjaga batas alam roh di Pura Dalem, ia menjaga kesucian dan keseimbangan antara dunia nyata dan niskala.
- Sebagai manusia sakti (Penadian) yang bertransformasi menjadi burung, ia membawa semprong  alat tiup api kuno yang memperkuat suara gaibnya, menggema hingga pelosok desa, seolah menjadi trompet alam yang menandai waktu berpindahnya roh.
Konon, setiap kali suara Cegingan terdengar menembus malam dari pucuk pohon tua hingga celah tembok rumah tua keesokan paginya desa diliputi kabar kepergian. Getar lengkingannya mengundang rasa gentar: apakah itu panggilan takdir, atau hanya gema misteri yang tak bisa dijelaskan? Tetapi di balik semua mitos dan rasa takut, tersembunyi kebijaksanaan luhur. Seperti burung hantu dalam banyak budaya yang melambangkan pengetahuan dan kesadaran, Cegingan hadir sebagai pengingat bahwa hidup hanyalah sementara, dan kematian bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihormati  sebagai proses alami dalam siklus eksistensi.
Dengan Ogoh-Ogoh "Cegingan," kami tak hanya menampilkan karya seni rupa dan budaya, tetapi juga menyuarakan harapan: agar setiap jiwa mampu menanggalkan kegelapan batin, menyongsong kehidupan baru dengan kesadaran penuh akan Dharma.
Demikianlah sinopsis cerita persembahan Ogoh-Ogoh "Cegingan," sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur, sekaligus perenungan spiritual dalam menyambut sunyinya Hari Raya Nyepi.
CAKA 1947 / 2025Â