Mohon tunggu...
Syamsumarlin  B
Syamsumarlin B Mohon Tunggu... Guru - Menebar salam, cinta kedamaian

Pangbaluk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Pendidikan Toleransi di Tana Toraja (Studi Peran Pergerakan Persyarikatan Muhammadiyah Tana Toraja, Sulawesi Selatan)

1 Februari 2018   13:25 Diperbarui: 1 Februari 2018   13:36 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan

Negara yang memiliki masyarakat termasuk kategori majemuk seperti Indonesia; agama, kelompok, tradisi budaya, suku dan etnis tertentu terkadang bisa menjadi faktor pemersatu sekaligus bisa menjadi pemicu konflik, termasuk perbuatan intoleransi. Agama, kelompok, tradisi budaya, suku dan etnis tertentu (read: kemajemukan) bisa menjadi sarana perubahan sosial, baik kearah yang positif maupun sampai kepada perubahan yang negatif. Oleh sebab itu untuk menghindari perubahan sosial yang negatif, negara berkewajiban mengembangkan pendidikan yang terbuka, toleran dan inklusif.

Gejala perubahan sosial yang negatif ini salah satu bentuknya adalah adanya sikap intoleransi yang belakangan  menguat kembali dinegara Indonesia, termasuk dilingkungan pendidikan yang mayoritas Muslim. Intoleransi yang dimaksud bisa berupa opini intoleran ataupun aksi intoleran. Hasil survey Nasional tahun 2017 yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menyebutkan adanya temuan umum siswa/mahasiswa Muslim Indonesia memiliki opini intoleran dan radikal yang berpotensi untuk menjadi aksi intoleran dan radikal.[1]

Merasuknya perilaku intoleransi di sekolah ini juga ditangkap Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfah Anshor. Menurut Maria, gejala itu sebenarnya sudah ada sejak dulu, hanya saja menguat kembali setelah ada Pilkada DKI Jakarta 2017. "Fenomena isu rasial dan agama terkait Pilkada DKI Jakarta itu jadi tontonan warga sehari-hari, dan berefek pada anak-anak yang belum punya filter," paparnya.[2] Bahkan sebagaimana disaksikan masyarakat berbagai kalangan juga ramai membicarakan isu-isu tersebut, yang terkadang menimbulkan tafsiran yang salah hingga boleh jadi memunculkan minimal opini intoleran yang dikhawatirkan berubah menjadi aksi intoleran. Oleh sebab itu, meskipun tidak dipungkiri sebagian kelompok juga menganggap bahwa isu Intoleransi pada pilkada DKI sengaja dilemparkan hanyalah sebagai apologi bagi lawan politik demi tujuan politik praktis, namun sebagai pelaku sekaligus pemerhati pendidikan harus merespon cepat gejala tersebut dengan cara menguatkan kembali pendidikan toleransi dilingkungan pendidikan sebagai upaya preventif sikap intoleransi opini ataupun intoleransi aksi.

Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai ancaman Intoleransi yang bisa merusak kemajemukan bangsa. Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama. Negara tidak boleh membiarkan tindakan-tindakan kekerasan dan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu.

 

Kedua, ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerja sama dalam berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi bisa ditumbuhkan secara menyeluruh. Semakin tinggi intensitas komunikasi dan kerjasama antarkelompok agama, maka semakin bisa dihindari kesalahpahaman dan dakwah-dakwah keagamaan yang menyebarkan sikap tidak toleran.

 

Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Toleransi perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan atau setiap mata pelajaran agama dan budaya, sehingga sikap toleran tertanam kokoh dan menyatu dalam jiwa setiap siswa. 

Demi mewujudkan ikhtiar diatas, negara tentu tidak berjalan sendirian, ada ormas yang merupakan salah satu agen perubahan sosial yang cukup strategis dan bisa diandalkan, paling tidak dilevel praktis untuk berperan menjaga hubungan sesama manusia (hablum minan nas) agar tetap harmonis. Keberadaan lembaga-lembaga/organisasi masyarakat (ormas) yang begerak dibidang sosial keagamaan termasuk dibidang pendidikan sangat vital peranannya, salah satunya adalah Muhammadiyah.

 

Muhammadiyah sebagai organisasi yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah atau bertepatan pada 18 November 1912 Miladiyah ini menyebutkan dirinya sebagai  gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta berasas Islam.[3] Sebagai sebuah gerakan, Muhamadiyah telah menampilkan diri sebagai sebuah fenomena unik dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia. Misalanya dalam penelitian disertasi Muhammad Alwi Shihab (1998), menyimpulkan bahwa pada intinya Muhammadiyah memainkan 4 peran penting yang saling terkait: pertama, sebagai gerakan pembaharuan; kedua, sebagai agen perubahan sosial; ketiga, sebagai kekuatan politik; dan yang paling menonjol, keempat, sebagai pembendung paling aktif misi-misi Kristenisasi di Indonesia. Sebagai ormas yang paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menanggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara.[4]

 

Berperan sebagai pembendung gerakan misionaris Kritenisasi inilah mengakibatkan Muhammadiyah awal lebih dikenal sejarah sebagai sebuah gerakan Islam yang puritan dan kurang- untuk mengatakan tidak -- toleran dan terbuka terhadap keberadaan pemeluk agama lain, terutama umat Kristiani, daripada sebagai gerakan yang melakukan modernisasi Islam di Indonesia. Ahmad Syafi'i Ma'arif dalam tulisan pengantar buku "Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Kristen Di Indonesia" ia mengungkapkan bahwa dalam memainkan perannya Muhammadiyah cenderung melakukan cara-cara yang sama seperti selama ini dipergunakan oleh kaum misionaris Kristen, seperti klasikal, pendirian rumah sakit, dan kepanduan. Sebab itulah Syafii Ma'arif mengemukakan, Muhammadiyah sering kali dituding sebagai "Kristen putih" atau "Kristen halus".[5]

 

Meskipun Muhammadiyah awal ada yang mencitrakannya sebagai ormas yang puritan, ekslusif, partikulars, dan primordialis, setidaknya  terhadap "orang luar" Islam, seiring perjalanan waktu telah menjadi gerakan Islam modernis yang mengembangkan inklusivisme, universalisme dan transendentalisme. Hal ini bisa lihat didalam pedoman kehidupan Islami warga Muhammadiyah, bagian kehidupan bermasyarakat (Tahun berapa), disitu terdapat poin yang dengan tegas menyatakan bahwa,  dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam[6]. Adapun dalam hubungan-hubungan sesama manusia dalam konteks sosial yang lebih luas, termasuk hubungan antar etnis, golongan, suku dan agama lain Muhammadiyah menghimbau untuk menunjukkan sikap-sikap sosial yang di  dasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat sejahtera lahir dan bathin, memupuk jiwa toleransi, menghormati kebebasan orang lain..dst.[7]

 

Disamping pernyataan diatas, Muhammadiyah pada Muktamar 47 tahun 2016 di Makassar juga kembali menegaskan bahwa NKRI tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, Negara Pancasila disebutkan sebagai Darul 'Ahdi Was-Syahadah. Negara pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-'ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah).[8] Konsekuensi dari penegasan tersebut adalah  umat Islam di Negara Pancasila saat ini dan kedepan diharapkan harus tampil sebagai perekat integrasi nasional yang menampilkan Islam Indonesia berwatak wasitiyah (tengahan) yang damai, santun dan toleran sekaligus berkemajuan (al hadlarah) untuk menghadapi tantangan zaman.[9]

 

Selain itu, sebagai ormas yang telah merambah keseluruh wilayah Indonesia, tentu Muhammadiyah memiliki karakteristik yang berbeda setiap daerahnya, termasuk dalam hal peran menjaga hubungan harmonis antar sesama manusia (hablum minan nas). Muhammadiyah Tana Toraja misalnya, meskipun Tana Toraja merupakan salah satu daerah di Propinsi Sulawesi Selatan yang terkenal dengan mayoritas non-Muslim tetapi Muhammadiyah tetap bisa mengembangkan peran dakwah yang menjunjung nilai nilai toleransi disana, terbukti menurut pengakuan salah satu guru dan warga Muhammadiyah Toraja bahwa awal-awal Islam masuk di Toraja adalah dibawah oleh orang Muhammadiyah bahkan sampai mengibarkan dan memperkenalkan bendera merah Putih.[10] Menurut data Sulawesi Selatan dalam angka (Tahun 2000) menyebutkan penyebaran agama di Toraja mayoritas Protestan (72,19 %), sedangkan Islam hanya 6,11 % dibawah Katolik (13,18 %) dan Hindu (8,52 %).[11] Kemudian menurut data tahun 2014 dari kantor BPS Tana Toraja, terjadi kenaikan penganut agama Islam yang signifikan menjadi 30.311 jiwa penduduk yang menganut agama Islam atau 13,40 % dari total penduduk yang jumlahnya 226.260 jiwa. Pemeluk agama Kristen sebanyak 146.991 jiwa (64.97%), Katolik sebanyak 40.858 jiwa (18.06%), Hindu sebanyak 8.082 jiwa (3.57%), dan Buddha sebanyak 18 jiwa (0.003%).[12]    

 

Herman Tahir, yang merupakan kader dan Pimpinan Muhammadiyah Tana Toraja sekaligus sebagai Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, mengaku bahwa di tahun 1936, Ormas Islam Muhammadiyah mulai masuk dan menyebarkan Islam melalui pembangunan sekolah-sekolah. "Kita pertama membangun sekolah SMP Muhammadiyah di Rantepao, tahun itu. SMP itu menerima semua kalangan, termasuk non muslim," Herman juga menjelaskan bahwa, sekolah tersebut banyak menciptakan pemuda-pemuda Islam, dan membangun nilai kejuangan hizbul watan. Sekolah itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pejuang-pejuang muslim yang melawan penjajah Belanda. "Pejuang-pejuang itu mewarnai sejarah perjuangan di Toraja. Mereka antara lain, Musa, Gani, Tjora Makkawaru, Lebang, Ichwan Rombe, dan beberapa pejuang lain."[13]

 

Disamping pengakuan diatas, Muhammadiyah Tana Toraja juga telah memiliki amal usaha dalam bidang pendidikan yang mulai dari Taman Kanak-Kanak  Aisyiyah yang disebut  TK ABA sampai pada tingkat MA/SMA/SMK. Menariknya SMP/MTs dan MA/SMA/SMK Muhammadiyah Tana Toraja terintegrasi kedalam lingkungan pondok pesantren yang berada pada Kabupaten mayoritas non Muslim, bahkan persis di sebelah selatan pondok terdapat beberapa gereja. Salah satu di antaranya adalah gereja besar yang memiliki lembaga pendidikan. Gereja itu masuk denominasi Advent. Tak jauh di depan pondok, di seberang jalan di sebelah barat, kampus Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Tana Toraja didirikan. Sampai saat ini, akses jalan di pondok pesantren menuju gedung di bagian paling belakang atau paling timur adalah milik warga yang beragama Kristen. Sementara itu, di sebelah timur, pondok berdiri komplek pendidikan Katolik yang dilengkapi dengan sarana rumah ibadah. Kehadiran sejumlah lembaga pendidikan dengan ciri keagamaan yang berbeda itu mewarnai lingkungan sekitar pondok. Pesantren ini juga merupakan pesantren pertama dan satu-satunya yang dimiliki oleh ormas Islam yang ada di Toraja.

 

Pemukiman di sekitar pondok umumnya didiami oleh penduduk asli setempat suku bangsa Toraja. Mereka terdiri dari penganut agama Islam, Katolik, dan Kristen. Banyak di antara penduduk yang menganut agama yang berbeda itu masih mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Salah seorang penduduk setempat (Mathius Rande, 72) menuturkan bahwa ia dan isterinya adalah pemeluk agama Kristen, tetapi dua di antara kakak isterinya menganut agama Islam. Ada juga di antara keluarga dekatnya yang menganut agama Hindu, yang semula dikenal sebagai penganut kepercayaan Aluk Todolo. Dalam berbagai kesempatan acara keluarga tiga macam penganut agama itu bertemu. Hal semacam ini sangat lazim di Tana Toraja dan dialami oleh banyak keluarga.

 

Muhammadiyah Tana Toraja dalam menjaga hubungan harmonis antar umat beragama pada Sabtu, 28 Oktober 2017 menggelar seminar pendidikan antar umat beragama, di Kompleks Ponpes Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja. Menurut Kiai Zainal Muttaqin (Mudir Pesantren), seminar ini terselenggara berangkat dari kegelisan tentang keadaan negara. Negara yang kita tahu mengedepankan kebersamaan, menurutnya, akhir-akhir ini sering terjadi bentrokan, "Jika perbedaan antar sesama beragama ada dalilnya, lebih-lebih antar beda agamapun ada dalilnya, sehingga seharusnya, perbedaan itu menjadi rahmat, bukan menjadi perbedaan yang harus dibentrokkan dalam negara yang dari dulu sangat toleransi dengan keberagaman dan kemajemukan di negara kita ini," tambahnya.[14] Seminar ini mendatangkan pemateri bukan hanya dari kalangan muslim tetapi juga dari non Muslim, seperti Bupati Tana Toraja, Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja (STAKN), Kepala Kemenag Sulsel, Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulsel, termasuk dekan Fakultas Agama Islam Unismuh Makassar, Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I dan Prof. Dr. H. Khaeruddin Basori, M.Psi (Wakil Ketua LP2M Pimpinan Pusat Muhammadiyah).

 

 Ketua LP2M PW Muhammadiyah Sulsel, Drs. H. Husni Yunus M.Pd juga mengharapkan acara tersebut berlangsung dengan baik yang diikuti semua golongan baik guru, sekolah Islam, Kristen, serta pengurus Masjid, Gereja dan tokoh masyarakat. "Seminar ini diharapkan akan merumuskan konsep model pendidikan integrasi pendidikan yang universal dan menjadikan model pendidikan karakter sebagai ruh pembinaan pada masyarakat,"[15]

 

Selain itu peran para anggota terutama pimpinan Muhammadiyah Toraja dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama manusia juga sangat vital, terbukti pernah ada mantan ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) yang mencalonkan Bupati Tana Toraja bahkan berpasangan dengan Pendeta, meskipun waktu itu mereka kalah dalam pilkada, selanjutnya salah satu kader sekaligus pimpinan Muhammadiyah juga berkiprah sebagai Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, bahkan menurut Abdul Rahman Pak Herman sekarang menjadi ketuanya, salah satu tugasnya adalah bagaimana merawat Toleransi antara sesama.[16] Tentu dengan kondisi dan situasi seperti diatas peran dan kontribusi Muhammadiyah Tana Toraja dalam menjaga hubungan antara sesama agar tetap harmonis sangat diutamakan. Olehnya itu pada penelitian ini akan jauh meneliti tentang Peran Persyarikatan Muhammadiyah terhadap Pendidikan Toleransi di Tana Toraja.

 
  
 

[1] Diseminasi hasil survey Nasional Pusat Pengkajian Isalam dan Masyarakat (PPIM) 2017 UIN Jakarta, disampaikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu, 20 Desember 2017.

   

[2] Anonimus, Selanjutnya lihatMajalah SINDO Weekly Edisi No.9/VI/2017, yang  terbit Senin (1/5/2017), diakses  pada  laman https://nasional.sindonews.com tanggal 15/5/2017.

[3]PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 287.

   

[4] Syarif Hidayatullah, Muhammadiyah dan Pluralitas Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 1

   

[5] Syarif Hidayatullah, Muhammadiyah dan Pluralitas Agama di Indonesia, ... hlm. 2

   

[6] PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, cet. Ke-IV, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 129.

   

[7] PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, ...  hlm. 130

   

[8] Abdul Munir Mulkhan dkk, Negara Pancasila Darul 'Ahdi Wasy-Syahadah; Perspektif Teologis dan Ideologis, (Yogyakarta: MPK PP Muhammadiyah, 2017), hlm. 16.

   

[9] Abdul Munir Mulkhan dkk, Negara Pancasila Darul 'Ahdi Wasy-Syahadah; Perspektif Teologis dan Ideologis, (Yogyakarta: MPK PP Muhammadiyah, 2017), hlm. 22.

   

[10] Wawancara dengan Abdul Rahman,S.Pd, guru, aktivis Muhammadiyah dan Masyarakat Toraja Asli, Minggu, 03 Desember 2017, pukul 09.00.

   

[11] Haedar Nashir, Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 294.

   

[12] Balitbang Diklat Kemenag RI, Pondok Pesantren di Daerah Wisata Tana Toraja, diakses pada laman,https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/1559-PONDOK-PESANTREN-DI-DAERAH-WISATA-TANA-TORAJA, tanggal 01 Desember 2017.

[13] Lihathttps://www.facebook.com/kiagengbrantasrevolution/posts/746604695369034 diakses Pada tanggal 02 Desember 2017.

[14] Lihathttp://www.khittah.co/seminar-nasional-pesantren-pembangunan-muhammadiyah-tana-toraja-kritisi-pendidikan-dan-kondisi-negara/9002/ diakses pada Sabtu, tanggal 02 Desember 2017

[15] Lihathttps://inipasti.com/ponpes-muhammadiyah-gelar-seminar-pendidikan-antar-umat-beragama/ diakses pada Sabtu, tanggal 02 Desember 2017.

[16] Wawancara dengan Abdul Rahman, guru, aktivis Muhammadiyah dan Masyarakat Toraja Asli, Minggu 03 Desember 2017, pukul 09.00.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun