Negara yang memiliki masyarakat termasuk kategori majemuk seperti Indonesia; agama, kelompok, tradisi budaya, suku dan etnis tertentu terkadang bisa menjadi faktor pemersatu sekaligus bisa menjadi pemicu konflik, termasuk perbuatan intoleransi. Agama, kelompok, tradisi budaya, suku dan etnis tertentu (read: kemajemukan) bisa menjadi sarana perubahan sosial, baik kearah yang positif maupun sampai kepada perubahan yang negatif. Oleh sebab itu untuk menghindari perubahan sosial yang negatif, negara berkewajiban mengembangkan pendidikan yang terbuka, toleran dan inklusif.
Gejala perubahan sosial yang negatif ini salah satu bentuknya adalah adanya sikap intoleransi yang belakangan  menguat kembali dinegara Indonesia, termasuk dilingkungan pendidikan yang mayoritas Muslim. Intoleransi yang dimaksud bisa berupa opini intoleran ataupun aksi intoleran. Hasil survey Nasional tahun 2017 yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menyebutkan adanya temuan umum siswa/mahasiswa Muslim Indonesia memiliki opini intoleran dan radikal yang berpotensi untuk menjadi aksi intoleran dan radikal.[1]
Merasuknya perilaku intoleransi di sekolah ini juga ditangkap Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfah Anshor. Menurut Maria, gejala itu sebenarnya sudah ada sejak dulu, hanya saja menguat kembali setelah ada Pilkada DKI Jakarta 2017. "Fenomena isu rasial dan agama terkait Pilkada DKI Jakarta itu jadi tontonan warga sehari-hari, dan berefek pada anak-anak yang belum punya filter," paparnya.[2] Bahkan sebagaimana disaksikan masyarakat berbagai kalangan juga ramai membicarakan isu-isu tersebut, yang terkadang menimbulkan tafsiran yang salah hingga boleh jadi memunculkan minimal opini intoleran yang dikhawatirkan berubah menjadi aksi intoleran. Oleh sebab itu, meskipun tidak dipungkiri sebagian kelompok juga menganggap bahwa isu Intoleransi pada pilkada DKI sengaja dilemparkan hanyalah sebagai apologi bagi lawan politik demi tujuan politik praktis, namun sebagai pelaku sekaligus pemerhati pendidikan harus merespon cepat gejala tersebut dengan cara menguatkan kembali pendidikan toleransi dilingkungan pendidikan sebagai upaya preventif sikap intoleransi opini ataupun intoleransi aksi.
Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Toleransi perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan atau setiap mata pelajaran agama dan budaya, sehingga sikap toleran tertanam kokoh dan menyatu dalam jiwa setiap siswa.Â
Demi mewujudkan ikhtiar diatas, negara tentu tidak berjalan sendirian, ada ormas yang merupakan salah satu agen perubahan sosial yang cukup strategis dan bisa diandalkan, paling tidak dilevel praktis untuk berperan menjaga hubungan sesama manusia (hablum minan nas) agar tetap harmonis. Keberadaan lembaga-lembaga/organisasi masyarakat (ormas) yang begerak dibidang sosial keagamaan termasuk dibidang pendidikan sangat vital peranannya, salah satunya adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah atau bertepatan pada 18 November 1912 Miladiyah ini menyebutkan dirinya sebagai  gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta berasas Islam.[3] Sebagai sebuah gerakan, Muhamadiyah telah menampilkan diri sebagai sebuah fenomena unik dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia. Misalanya dalam penelitian disertasi Muhammad Alwi Shihab (1998), menyimpulkan bahwa pada intinya Muhammadiyah memainkan 4 peran penting yang saling terkait: pertama, sebagai gerakan pembaharuan; kedua, sebagai agen perubahan sosial; ketiga, sebagai kekuatan politik; dan yang paling menonjol, keempat, sebagai pembendung paling aktif misi-misi Kristenisasi di Indonesia. Sebagai ormas yang paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menanggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara.[4]
Berperan sebagai pembendung gerakan misionaris Kritenisasi inilah mengakibatkan Muhammadiyah awal lebih dikenal sejarah sebagai sebuah gerakan Islam yang puritan dan kurang- untuk mengatakan tidak -- toleran dan terbuka terhadap keberadaan pemeluk agama lain, terutama umat Kristiani, daripada sebagai gerakan yang melakukan modernisasi Islam di Indonesia. Ahmad Syafi'i Ma'arif dalam tulisan pengantar buku "Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Kristen Di Indonesia" ia mengungkapkan bahwa dalam memainkan perannya Muhammadiyah cenderung melakukan cara-cara yang sama seperti selama ini dipergunakan oleh kaum misionaris Kristen, seperti klasikal, pendirian rumah sakit, dan kepanduan. Sebab itulah Syafii Ma'arif mengemukakan, Muhammadiyah sering kali dituding sebagai "Kristen putih" atau "Kristen halus".[5]
Meskipun Muhammadiyah awal ada yang mencitrakannya sebagai ormas yang puritan, ekslusif, partikulars, dan primordialis, setidaknya  terhadap "orang luar" Islam, seiring perjalanan waktu telah menjadi gerakan Islam modernis yang mengembangkan inklusivisme, universalisme dan transendentalisme. Hal ini bisa lihat didalam pedoman kehidupan Islami warga Muhammadiyah, bagian kehidupan bermasyarakat (Tahun berapa), disitu terdapat poin yang dengan tegas menyatakan bahwa,  dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam[6]. Adapun dalam hubungan-hubungan sesama manusia dalam konteks sosial yang lebih luas, termasuk hubungan antar etnis, golongan, suku dan agama lain Muhammadiyah menghimbau untuk menunjukkan sikap-sikap sosial yang di  dasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat sejahtera lahir dan bathin, memupuk jiwa toleransi, menghormati kebebasan orang lain..dst.[7]
Disamping pernyataan diatas, Muhammadiyah pada Muktamar 47 tahun 2016 di Makassar juga kembali menegaskan bahwa NKRI tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, Negara Pancasila disebutkan sebagai Darul 'Ahdi Was-Syahadah. Negara pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-'ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah).[8] Konsekuensi dari penegasan tersebut adalah  umat Islam di Negara Pancasila saat ini dan kedepan diharapkan harus tampil sebagai perekat integrasi nasional yang menampilkan Islam Indonesia berwatak wasitiyah (tengahan) yang damai, santun dan toleran sekaligus berkemajuan (al hadlarah) untuk menghadapi tantangan zaman.[9]
Selain itu, sebagai ormas yang telah merambah keseluruh wilayah Indonesia, tentu Muhammadiyah memiliki karakteristik yang berbeda setiap daerahnya, termasuk dalam hal peran menjaga hubungan harmonis antar sesama manusia (hablum minan nas). Muhammadiyah Tana Toraja misalnya, meskipun Tana Toraja merupakan salah satu daerah di Propinsi Sulawesi Selatan yang terkenal dengan mayoritas non-Muslim tetapi Muhammadiyah tetap bisa mengembangkan peran dakwah yang menjunjung nilai nilai toleransi disana, terbukti menurut pengakuan salah satu guru dan warga Muhammadiyah Toraja bahwa awal-awal Islam masuk di Toraja adalah dibawah oleh orang Muhammadiyah bahkan sampai mengibarkan dan memperkenalkan bendera merah Putih.[10] Menurut data Sulawesi Selatan dalam angka (Tahun 2000) menyebutkan penyebaran agama di Toraja mayoritas Protestan (72,19 %), sedangkan Islam hanya 6,11 % dibawah Katolik (13,18 %) dan Hindu (8,52 %).[11] Kemudian menurut data tahun 2014 dari kantor BPS Tana Toraja, terjadi kenaikan penganut agama Islam yang signifikan menjadi 30.311 jiwa penduduk yang menganut agama Islam atau 13,40 % dari total penduduk yang jumlahnya 226.260 jiwa. Pemeluk agama Kristen sebanyak 146.991 jiwa (64.97%), Katolik sebanyak 40.858 jiwa (18.06%), Hindu sebanyak 8.082 jiwa (3.57%), dan Buddha sebanyak 18 jiwa (0.003%).[12] Â Â
Herman Tahir, yang merupakan kader dan Pimpinan Muhammadiyah Tana Toraja sekaligus sebagai Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, mengaku bahwa di tahun 1936, Ormas Islam Muhammadiyah mulai masuk dan menyebarkan Islam melalui pembangunan sekolah-sekolah. "Kita pertama membangun sekolah SMP Muhammadiyah di Rantepao, tahun itu. SMP itu menerima semua kalangan, termasuk non muslim," Herman juga menjelaskan bahwa, sekolah tersebut banyak menciptakan pemuda-pemuda Islam, dan membangun nilai kejuangan hizbul watan. Sekolah itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pejuang-pejuang muslim yang melawan penjajah Belanda. "Pejuang-pejuang itu mewarnai sejarah perjuangan di Toraja. Mereka antara lain, Musa, Gani, Tjora Makkawaru, Lebang, Ichwan Rombe, dan beberapa pejuang lain."[13]
Muhammadiyah Tana Toraja dalam menjaga hubungan harmonis antar umat beragama pada Sabtu, 28 Oktober 2017 menggelar seminar pendidikan antar umat beragama, di Kompleks Ponpes Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja. Menurut Kiai Zainal Muttaqin (Mudir Pesantren), seminar ini terselenggara berangkat dari kegelisan tentang keadaan negara. Negara yang kita tahu mengedepankan kebersamaan, menurutnya, akhir-akhir ini sering terjadi bentrokan, "Jika perbedaan antar sesama beragama ada dalilnya, lebih-lebih antar beda agamapun ada dalilnya, sehingga seharusnya, perbedaan itu menjadi rahmat, bukan menjadi perbedaan yang harus dibentrokkan dalam negara yang dari dulu sangat toleransi dengan keberagaman dan kemajemukan di negara kita ini," tambahnya.[14] Seminar ini mendatangkan pemateri bukan hanya dari kalangan muslim tetapi juga dari non Muslim, seperti Bupati Tana Toraja, Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja (STAKN), Kepala Kemenag Sulsel, Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulsel, termasuk dekan Fakultas Agama Islam Unismuh Makassar, Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I dan Prof. Dr. H. Khaeruddin Basori, M.Psi (Wakil Ketua LP2M Pimpinan Pusat Muhammadiyah).
 Ketua LP2M PW Muhammadiyah Sulsel, Drs. H. Husni Yunus M.Pd juga mengharapkan acara tersebut berlangsung dengan baik yang diikuti semua golongan baik guru, sekolah Islam, Kristen, serta pengurus Masjid, Gereja dan tokoh masyarakat. "Seminar ini diharapkan akan merumuskan konsep model pendidikan integrasi pendidikan yang universal dan menjadikan model pendidikan karakter sebagai ruh pembinaan pada masyarakat,"[15]
Selain itu peran para anggota terutama pimpinan Muhammadiyah Toraja dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama manusia juga sangat vital, terbukti pernah ada mantan ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) yang mencalonkan Bupati Tana Toraja bahkan berpasangan dengan Pendeta, meskipun waktu itu mereka kalah dalam pilkada, selanjutnya salah satu kader sekaligus pimpinan Muhammadiyah juga berkiprah sebagai Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, bahkan menurut Abdul Rahman Pak Herman sekarang menjadi ketuanya, salah satu tugasnya adalah bagaimana merawat Toleransi antara sesama.[16] Tentu dengan kondisi dan situasi seperti diatas peran dan kontribusi Muhammadiyah Tana Toraja dalam menjaga hubungan antara sesama agar tetap harmonis sangat diutamakan. Olehnya itu pada penelitian ini akan jauh meneliti tentang Peran Persyarikatan Muhammadiyah terhadap Pendidikan Toleransi di Tana Toraja.
[2] Anonimus, Selanjutnya lihatMajalah SINDO Weekly Edisi No.9/VI/2017, yang  terbit Senin (1/5/2017), diakses  pada  laman https://nasional.sindonews.com tanggal 15/5/2017.
[3]PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 287.
[5] Syarif Hidayatullah, Muhammadiyah dan Pluralitas Agama di Indonesia, ... hlm. 2
[7] PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, ... Â hlm. 130
[12] Balitbang Diklat Kemenag RI, Pondok Pesantren di Daerah Wisata Tana Toraja, diakses pada laman,https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/1559-PONDOK-PESANTREN-DI-DAERAH-WISATA-TANA-TORAJA, tanggal 01 Desember 2017.
[13] Lihathttps://www.facebook.com/kiagengbrantasrevolution/posts/746604695369034 diakses Pada tanggal 02 Desember 2017.
[14] Lihathttp://www.khittah.co/seminar-nasional-pesantren-pembangunan-muhammadiyah-tana-toraja-kritisi-pendidikan-dan-kondisi-negara/9002/ diakses pada Sabtu, tanggal 02 Desember 2017
[15] Lihathttps://inipasti.com/ponpes-muhammadiyah-gelar-seminar-pendidikan-antar-umat-beragama/ diakses pada Sabtu, tanggal 02 Desember 2017.