Mohon tunggu...
Baskoro GiliYuwono
Baskoro GiliYuwono Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

"Rerum Cognoscere Causas" - LSE

Selanjutnya

Tutup

Money

Konsumerisme Pandemi, Baik atau Buruk?

22 November 2020   17:57 Diperbarui: 22 November 2020   20:16 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Masa keemasan bagi kalian kaum konsumerisme"

Ketika kita mendengar tentang kata konsumerisme maka sebagian besar pasti akan berfikir bahwa ini adalah suatu gaya hidup yang tidak baik. Sebagian juga mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka yang "berduit" karena memang standard hidupnya seperti itu. Segala penilaian tentang gaya hidup seseorang bersifat relatif. Tergantung dari mana sudut pandang seorang penilai melihat suatu fenomena. Jika kita telaah lebih lanjut, menurut KBBI konsumersime adalah "gaya hidup yang tidak hemat". Dari sini kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang menganut paham konsumerisme sering kali menghamburkan hartanya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan dan saving mereka rendah.

Konsumerisme sering kali disandingkan dengan gaya hidup hedonisme. Mirip dengan konsumerisme, hedonisme juga gaya hidup yang boros namun lebih mengarah kepada pandangan bahwa kenikmatan dan kesenangan adalah tujuan hidup para penganutnya. Pada tingkatan konsumersime tertentu, hedonisme adalah tambahan "additional" pada gaya hidupnya atau dapat dikatakan lebih tinggi daripada konsumerisme.

Masyarakat modern saat ini mengenal yang namanya transaksi non-tunai (card based & electronic based), bahkan tidak asing bagi kita jika melihat seseorang tidak membawa dompet dan hanya mengeluarkan smarthphone untuk melakukan transaksi. Ini merupakan salah satu wujud digitalisasi yang kita lihat. 

Sudah banyak artikel dan jurnal penelitian yang telah mengupas bagaimana transaksi non-tunai berdampak kepada tingkat konsumsi seseorang. Salah satunya adalah jurnal milik Jati. Wasito yang berjudul "Less Cash Society: Menakar mode konsuerisme baru kelas menengah Indonesia" menyimpulkan bahwa teknologi secara jelas berperan penting mendorong konsumsi kelas menengah Indonesia agar lebih konsumtif. Berdasarkan statistik Bank Indonesia terjadi perubahan jumlah transaksi non tunai yang sangat signifikan dari tahun ke tahun, contoh saja Tahun 2017 terdapat 943.319.933 transaksi, kemudian tahun 2018 2.922.698.905 transaksi, dan tahun 2019 5.226.699.919 transaksi.

Banyak hal yang menarik masyarakat untuk menjadi cash less, selain karena smartphone sekarang adalah kebutuhan hidup juga karena kemudahan dan kelebihan berupa potongan harga di dalamnya. Ditambah lagi E-commers saat ini sudah tidak menggunakan transaksi tunai dikarenakan antara penjual dan pembeli tidak saling bertemu hanya menggunakan aplikasi yang tersedia di smartphone. Jika kita melihat lagi dalam sejarah, masyarakat yang dulunya menggunakan emas atau logam mulia sebagai alat transaksi kemudian berganti menggunakan uang kertas atau logam karena lebih banyak ruang kosong "di dompet" yang tersisa. Kemudian saat ini tanpa perlu dompet masyarakat sudah bisa bertransaksi. Bisa jadi di masa yang akan datang masyarakat Indonesia tidak menggunakan smartphone sebagai dompet digitalnya namun hanya chip yang ditanam di tangan seperti negara besar yang lain.

Kondisi pandemi saat ini memaksa seseorang untuk mengurangi aktifitas di luar rumah, dan menjaga jarak satu sama lainnya. Pandemi ini seakan-akan merupakan pintu gerbang bagi seluruh masyarakat dunia untuk melakukan digitalisasi. Meskipun untuk melangkah ke arah digitalisasi saat ini membutuhkan pengorbanan. 

Pada mulanya pandemi menurunkan kegiatan transaksi jual beli di masyarakat karena tidak saling bertemu, akibatnya perekonomian sempat terjadi penurunan. Hal ini juga termasuk transaksi non-tunai dimana menurut data statistik Bank Indonesia transaksi non-tunai mengalami penurunan yang besar yaitu bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, dan September 2020. 

Untuk mengatasi dampak pandemi tersebut Bank Indonesia sebagai otoritas sistem keuangan memperpanjang kebijakan Merchant Discount Rate sebesar 0% untuk QRIS hingga bulan September 2020. QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard) merupakan standard kode QR masyarakat Indonesia untuk melakukan transaksi digital yang biasanya dipajang di depan stand makanan, kasir, atau aplikasi di smartphone.

Jika kita melihat ke fenomena yang ada pada saat ini, 82% perusahaan mengalami penurunan pendapatan menurut Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenaga Kerjaan BPS Nurma Midayanti. Berdasarkan Berita Resmi Statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik 5 November 2020, penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19 sebanyak 29,12 juta orang, terdiri dari 2,56 juta orang pengangguran karena Covid-19, 0,76 juta orang Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja karena Covid-19, dan 24,03 juta orang penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19.

Miris rasanya ketika ketika melihat salah satu akun media sosial perusahaan frenchise dunia meminta kepada masyarakat melalui postingannya agar kita melakukan konsumsi di perusahaan besar saingannya sendiri atau ke penjual makan lainnya. "Tidak pernah sebelumnya terpikirkan oleh kami untuk meminta Anda melakukan ini; Pesanlah dari ..." Tulis salah satu media sosial perusahaan frenchise.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun