Ketika Sekolah Jadi Laboratorium Kebijakan: Murid dan Guru Jadi Kelinci Percobaan?
Di negeri ini, pendidikan terlalu sering menjadi ladang eksperimen kebijakan. Setiap kali menteri baru duduk di kursi kementerian, wajah kurikulum berubah. Nama-nama kurikulum datang dan pergi: Kurikulum 1994, 2006 (KTSP), 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka. Namun satu hal tetap sama: kebingungan guru, keterkejutan sekolah, dan kebijakan yang lebih sibuk mengganti wajah ketimbang memperkuat pondasi.
Padahal, pendidikan bukan program lima tahunan. Ia menuntut visi panjang dan keteguhan dalam eksekusi. Negara-negara dengan sistem pendidikan kuat seperti Finlandia, Korea Selatan, hingga Kanada, bukan karena sering mengganti kebijakan, melainkan karena konsistensi arah dan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses perumusannya. Indonesia tampaknya masih jauh dari pola ini. Kebijakan sering kali dibuat tanpa cukup evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan kebijakan sebelumnya.
Contoh nyata terlihat dalam transisi dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka. Meski narasi perubahan ini sarat semangat pembebasan dan diferensiasi pembelajaran, banyak sekolah dan guru mengaku tidak siap. Survei Kemendikbudristek tahun 2024 terhadap lebih dari 5.000 guru menunjukkan bahwa 47% guru merasa belum memahami sepenuhnya filosofi dan praktik Kurikulum Merdeka. Lebih dari 30% sekolah di luar kota besar belum memiliki infrastruktur digital yang mendukung pelaksanaan kurikulum ini.
Tak hanya guru, siswa pun menjadi korban kebijakan yang berubah-ubah. Bayangkan mereka yang baru dua tahun menyesuaikan diri dengan satu sistem, tiba-tiba harus belajar dengan pendekatan baru yang berbeda arah. Dalam jangka panjang, inkonsistensi ini merusak kesinambungan proses belajar. Sebuah riset dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan 2023 menemukan bahwa ketidakstabilan kurikulum turut berkontribusi pada penurunan motivasi belajar siswa dan kelelahan mental pada guru.
Masalah ini bukan semata soal teknis kurikulum, tapi menyangkut mentalitas penyusunan kebijakan. Terlalu sering, kebijakan dibuat untuk "terlihat progresif" dalam jangka pendek, tanpa komitmen mendalam terhadap perubahan jangka panjang. Evaluasi berbasis bukti (evidence-based policy) jarang menjadi landasan utama. Di sisi lain, suara guru dan komunitas sekolah sering kali hanya menjadi pelengkap dalam dokumen, bukan fondasi utama dari arah kebijakan.
Pendidikan butuh stabilitas, bukan dalam arti stagnasi, tetapi dalam arti konsistensi arah. Konsistensi memberi ruang bagi sekolah untuk merespons dengan kreatif, bukan dengan panik. Konsistensi memberi waktu bagi guru untuk mendalami pendekatan baru, bukan sekadar mengikuti pelatihan singkat lalu ditinggalkan. Konsistensi memberi kepercayaan kepada siswa bahwa pendidikan adalah ruang pertumbuhan, bukan ruang percobaan.
Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif bangsa. Maka penting bagi pemerintah untuk membangun arah kebijakan jangka panjang yang jelas, lintas periode, dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek. Untuk itu, perlu dibentuk Education Policy Framework jangka panjang dengan peran kuat dari lembaga non-pemerintah dan akademisi agar arah kebijakan tidak terus bergantung pada pergantian rezim atau nama menteri.
Kini saatnya berhenti menjadikan pendidikan sebagai ajang coba-coba. Sudah cukup guru menjadi operator kebijakan dadakan, dan siswa menjadi subjek eksperimen. Pendidikan harus kembali ke tujuannya yang hakiki: membentuk manusia merdeka, berdaya, dan siap hidup di dunia yang terus berubah bukan sekadar menjadi korban kebijakan yang tak konsisten.
Seperti yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang beradab, bukan eksperimen kebijakan." Kata-kata ini masih relevan, terlebih di tengah iklim pendidikan yang kerap berubah-ubah tanpa arah yang pasti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI