Pendahuluan
Pernahkah kita berpikir mengapa sebagian besar sistem pendidikan menilai keberhasilan siswa berdasarkan kemampuan mereka memahami fakta dan realitas dunia nyata---seperti sains, matematika, dan keterampilan terukur lainnya? Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada kenyataan bahwa keberhasilan tidak hanya bergantung pada cita-cita atau imajinasi, tetapi pada kemampuan membaca dan menanggapi dunia sebagaimana adanya. Dari ruang kelas hingga dunia kerja, prinsip "apa yang nyata dan terbukti" menjadi tolok ukur keberhasilan.
Bayangkan seorang siswa yang belajar matematika tanpa pernah melihat aplikasi nyata dari konsep yang dipelajarinya. Dia menghafal rumus, menjawab soal, tapi ketika dihadapkan pada situasi kehidupan sehari-hari seperti menghitung anggaran atau merancang proyek sederhana, ia kebingungan. Fenomena ini kerap terjadi di banyak sistem pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan penting: apakah pendidikan saat ini sudah merefleksikan realitas dunia nyata?
Realisme sebagai filosofi pendidikan mengajukan bahwa dunia nyata---barang-barang yang dapat diamati, eksperimen yang dapat dilakukan---adalah sumber utama pengetahuan. Dalam era perubahan global cepat, pendekatan ini semakin relevan karena pendidikan harus mempersiapkan siswa tidak hanya untuk ujian, tetapi untuk menghadapi tantangan kehidupan nyata yang kompleks dan dinamis.
Relevansi realisme dalam pendidikan juga terlihat dari tuntutan kompetensi abad ke-21, di mana keterampilan berpikir kritis, problem solving, dan praktik langsung semakin diutamakan. Oleh karena itu, memahami dan mengimplementasikan filosofi realisme dalam pendidikan menjadi krusial untuk menciptakan generasi yang adaptif dan siap pakai.
Latar BelakangÂ
Pendidikan modern kerap terjebak antara dua kutub: idealisme yang menekankan nilai, cita-cita, dan ide besar, serta realisme yang menekankan fakta, realitas, dan bukti empiris. Dalam era digital dan globalisasi saat ini, sistem pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan keduanya. Banyak siswa memiliki impian tinggi, tetapi sering kesulitan menerapkannya dalam dunia nyata karena kurangnya dasar pengetahuan faktual dan keterampilan praktis.
Menurut data UNESCO (2023), hampir 40% lulusan muda di negara berkembang kesulitan memasuki dunia kerja karena tidak memiliki kompetensi nyata yang dibutuhkan pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan masih kurang menekankan aspek realistis dan aplikatif. Di Indonesia sendiri, meskipun Kurikulum Merdeka berusaha mengintegrasikan proyek nyata dan pengalaman kontekstual, banyak sekolah masih berorientasi pada hafalan dan nilai ujian.
Pentingnya realisme dalam pendidikan dilatari oleh kekhawatiran terhadap kesenjangan antara teori dan praktik dalam kurikulum pendidikan saat ini. Banyak lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki pengetahuan teoritis memadai, namun kurang siap secara praktis untuk globalisasi dan dunia kerja modern. Sebagai contoh, riset menunjukkan indikator kesiapan kerja lulusan yang rendah di sektor industri berbasis teknologi, yang mencerminkan lemahnya pembelajaran berbasis pengalaman dan praktik nyata.
Selain aspek ekonomi, hal ini juga berkaitan dengan isu sosial dan budaya. Pendidikan yang jauh dari realitas seringkali membuat siswa kehilangan hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, masyarakat membutuhkan individu yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki kemampuan menghadapi tantangan praktis sehari-hari, seperti pengelolaan sumber daya, kreativitas dalam pemecahan masalah, dan komunikasi efektif.
Kondisi ini menuntut evaluasi dan perubahan paradigma pendidikan agar dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut. Filosofi realisme hadir sebagai solusi filosofis yang menekankan pentingnya pembelajaran yang berangkat dari kenyataan, pengalaman langsung, dan fakta-fakta objektif yang bisa diamati dalam kehidupan nyata.