Mohon tunggu...
Fahrul Rojik
Fahrul Rojik Mohon Tunggu... Social Worker - Sekawanesia.id - Campaign and Knowledge Management, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Suka mikir keras kadang jadi tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketahanan Pangan dan Ironi Ketergantungan Impor

19 Juni 2025   15:03 Diperbarui: 19 Juni 2025   21:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Konsorsium Pembaruan Agraria 2025. Petani perempuan sedang berjalan ditengah hamparan sawah yang terletak di Desa Sukaslamet, Kec. Kroya, Indra

Negara agraris seperti Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang berdaulat pangan. Namun, hingga kini ketergantungan pada impor, ketimpangan penguasaan lahan, dan lemahnya posisi petani dalam rantai produksi masih menjadi hambatan utama.

Periode pemerintahan sejak orde baru hingga saat ini selalu mendorong ketahanan pangan sebagai program prioritas. Sebab, tanpa kemampuan untuk memproduksi pangan secara mandiri, sebuah negara akan selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap krisis global. Di sisi lain untuk membangun sistem pangan yang kuat dan berkelanjutan, ada satu elemen mendasar yang kerap terlupakan yakni akses dan jaminan hak atas tanah.

Tanah bukan sekadar ruang fisik, tetapi merupakan sumber kehidupan bagi jutaan petani yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Ketersediaan lahan yang memadai dan hak atas tanah menjadi syarat mutlak agar petani bisa berproduksi secara optimal.

Presiden Soekarno saat meresmikan gedung pertama di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tanggal 27 April 1952, beliau melontarkan pernyataan bahwa "urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa". Ia juga menyebut bahwa masalah pangan tidak lepas dari hak atas tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap para produsen pangan.

Artinya, untuk menciptakan sistem pangan yang adil dan berkelanjutan, ketahanan pangan bukan sekadar tuntutan sejarah, tetapi jaminan hak atas tanah bagi petani yang harus dipenuhi.

Konflik Agraria dan Ketimpangan Penguasaan Lahan

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 50% tanah produktif. Sementara itu, mayoritas petani Indonesia menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang - Undang Pasal 8 Nomor 56, Tahun 1960 menyebutkan bahwa setiap keluarga petani memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar, pasal ini menetapkan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian seluas 2 hektar.

Ketimpangan ini membuat petani tidak berdaya untuk menentukan sistem produksi pangan secara mandiri. Jika ada 1% penduduk Indonesia yang menguasai sebagaian besar tanah produktif, maka inilah yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai produksi pangan nasional.

Selain itu, konflik agraria di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Sepanjang tahun 2024, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan terjadi 295 letusan konflik agraria. Konflik-konflik ini mencakup lahan seluas 1,1 juta hektar, 67.436 keluarga terdampak tersebar di 349 desa. Sektor perkebunan, terutama kelapa sawit, menjadi penyumbang terbesar dengan 111 kasus.

Sebagian besar konflik terjadi karena pengambilalihan lahan pertanian oleh perusahaan-perusahaan besar untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur. Tanpa jaminan hak atas tanah, mustahil petani dapat memproduksi pangan secara berdaulat. 

Pemerintah perlu mempercepat implementasi reforma agraria yang berpihak pada petani, bukan hanya sebatas sertifikasi tanah, tetapi juga melalui redistribusi tanah eks HGU (Hak Guna Usaha) atau tanah tanah yang terlantar serta penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan.

Importasi Pangan

Ketahanan pangan yang bersifat universal dan makro memang penting, tetapi akan lebih berdampak jika dilakukan dengan asas kedaulatan yang mendorong kemandirian berbasis pada pola produksi keluarga dan potensi pangan lokal. Dengan demikian, posisi petani, nelayan dan masyarakat lokal menjadi subyek utama dalam sistem ketahanan pangan nasional.

Tahun 2024, BPS melaporkan bahwa Indonesia masih mengimpor 4,52 juta ton beras, 1,5 juta ton jagung, dan 11,71 juta ton gandum. Kemudian impor ikan pada Januari hingga Agustus 2024 mencapai 56,80 juta kilogram (kg). Ketergantungan ini menunjukkan lemahnya sistem kemandirian pangan nasional dan kegagalan sistem ketahanan pangan yang tidak berpijak pada produksi lokal.

Sementara itu Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang mengatur kebijakan pangan di Indonesia, tidak mengatur batasan dan sanksi yang tegas untuk praktik impor yang berlebihan. Aturan ini gagal menanggulangi ketergantungan impor yang semakin akut, sebab dalam aturan tersebut importasi pangan dilakukan tanpa syarat. Sehingga, memposisikan pangan lokal dan impor setara.

DPR RI tengah berupaya melakukan revisi Undang-Undang tersebut, langkah ini seharusnya menjadi momentum untuk merombak kebijakan pangan nasional agar lebih berpijak pada asas kedaulatan, serta memperkuat posisi petani, nelayan dan masyarakat lokal sebagai produsen pangan nasional.

Reforma agraria dalam Asta-Cita

Gunawan Wiradi, guru besar dan tokoh agraria Indonesia, menjelaskan bahwa Reforma Agraria adalah penataan kembali susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah, untuk kepentingan rakyat kecil petani, buruh tani, tunakisma, dan lain-lain, secara menyeluruh dan komprehensif.

Dalam Asta Cita Prabowo-Gibran, reforma agraria tercatat sebagai bagian penting untuk mencapai swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Namun, pelaksanaan reforma agraria di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran masih dipertanyakan, sebab fokusnya lebih pada sertifikasi tanah ketimbang redistribusi lahan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama organisasi masyarakat sipil lainnya dalam agenda Asia Land Forum 2025 pada Februari lalu, telah mendorong komitmen pemerintah dalam upaya mewujudkan Visi dan Misi tersebut. Salah satu poinnya adalah, Percepatan pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, serta Pencapaian kedaulatan pangan melalui penguatan dan perlindungan pusat produksi pangan yang dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Namun hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum menjadi landasan kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran.

Reforma agraria menjadi langkah serius yang harus segera dijalankan oleh pemerintah agar petani, nelayan, dan masyarakat lokal tidak selalu ditempatkan sebagai objek, tetapi subyek utama dalam sistem pangan nasional.

Ketahanan pangan tidak akan menjawab persoalan struktural dalam sistem pangan nasional, jika tidak dilakukan dengan pendekatan yang inklusif dan berkeadilan.

Pemerintah perlu memberbaiki pendekatan sistem pangan dengan mengedepankan asas kedaulatan. Supaya memperkuat posisi petani, nelayan, masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam rantai produksi pangan serta sistem ketahanan pangan di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun