Di tengah kesibukan generasi millenial, ritme hidup yang cepat sering kali membuat pasangan suami-istri mengabaikan hal-hal kecil yang dulu menjadi tradisi rumah tangga. Salah satu kebiasaan sederhana namun sarat makna yang mulai pudar adalah menyiapkan bekal makan siang untuk suami yang bekerja di luar rumah.
Bagi sebagian orang, membawa bekal hanyalah pilihan hemat atau sekadar menghindari menu kedai yang membosankan. Namun, bagi suami yang membukanya di tengah hiruk pikuk pekerjaan, bekal itu adalah bentuk komunikasi emosional tanpa kata, sebuah "surat cinta" yang dibungkus rapi dan dikirimkan dari dapur rumah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Tidaklah engkau menafkahkan sesuatu yang engkau cari untuk mencari ridha Allah, kecuali engkau akan diberi pahala, termasuk makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memang berbicara tentang suami yang memberi makan istri, tetapi para ulama seperti Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa makna sedekah di sini berlaku timbal balik: memberi makan pasangan, apapun bentuknya, jika diniatkan untuk kebaikan, menjadi ibadah yang berpahala.
Saat Bekal Tidak Lagi Prioritas di Era Millenial
Memberi bekal makan siang kepada
suami bukan hanya soal mengenyangkan, tetapi juga bagian dari ibadah yang mengandung unsur sedekah dan kasih sayang.
Dalam Ihya' Ulum al-Din, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa segala aktivitas yang membantu keluarga menjalankan kewajiban hidup---termasuk menyediakan makanan---adalah bagian dari taqarrub kepada Allah jika diniatkan dengan benar. Ia menulis:
"Memberi kenyamanan kepada pasangan dan memenuhi kebutuhannya termasuk amal shalih yang pahalanya berlipat, karena di dalamnya ada maslahat besar bagi rumah tangga dan masyarakat."
Bagi al-Ghazali, istri yang menyiapkan bekal untuk suami sebenarnya sedang "berinvestasi" pahala. Setiap suapan yang disantap suami menjadi energi untuk bekerja mencari nafkah halal, yang pada gilirannya membawa keberkahan bagi keluarga.