Di kaki Gunung Seulawah, negeri paling ujung Sumatera, tepatnya di Seulimeum, malam itu, Senin (Malam Selasa),14 April 2025 diselimuti kabut tipis yang menyatukan keheningan dengan keagungan. Di sinilah, ribuan jiwa dari Sabang, Pidie, Meureudu, Bireuen, Aceh Singkil, bahkan dari luar Aceh, berkumpul di Dayah Ruhul Fata Seulimeum untuk memperingati Haul ke-9 sang mursyid—Abon Mukhtar Luthfi bin Abdul Wahab, yang akrab disapa Abon Seulimeum. Malam itu, di tengah lantunan doa dan zikir, setiap hati tersentuh oleh aroma kerinduan dan tekad untuk menggapai keabadian melalui perjuangan ilmu yang telah ditinggalkan oleh sosok ulama besar ini.
Sejarah dan Warisan yang Terpatri
Dayah Ruhul Fata Seulimeum selama puluhan tahun telah menjadi pusat peradaban dan keilmuan Islam. Di sinilah lahir pencerahan spiritual dan perjuangan melawan arus pemikiran radikal dan Wahabisme Abon Seulimeum, putra dari Tgk. H. Abdul Wahhab yang dikenal sebagai Abu Seulimeum, mengemban amanah keilmuan dengan sepenuh hati. Ayahandanya juga Abon Seulimeum pernah menuntun ilmu di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga—tempat di mana tarekat Syattariyah dan khulwatiyah dirintis dengan penuh ketulusan. Tarekat tersebut diambil langsung dari ajaran Syekh Hanafiah Samalanga, yang akrab disapa Abi Hanafiah, pimpinan Dayah MUDI Samalanga, sehingga tercipta suatu ikatan keilmuan yang mengukuhkan Rabithah Seulimeum (Ruhul Fata) dengan MUDI Mesjid Raya Samalanga.
Warisan Abu Seulimeum dan perjuangannya dalam menerapkan tarekat syattariyah itu terus dijaga oleh Abon Seulimeum. Ia tidak hanya sekadar meneruskan tradisi, melainkan juga menorehkan sejarah baru sebagai ulama yang dikenal dengan julukan "Singa Aswaja." Kharismanya begitu nyata hingga beliau kerap disebut sebagai sosok yang ditakuti oleh kaum Wahabi, yang selalu mencoba mengikis nilai-nilai keislaman tradisional. Dengan ketegasan yang berlandaskan ilmu yang mendalam, Abon Seulimeum menjadi benteng yang melindungi identitas keislaman Aceh dari arus pemikiran radikal.
Menjelang Haul: Harapan dan Rindu yang Menyatu
Malam menjelang Haul ke-9, halaman Dayah Ruhul Fata dipenuhi oleh ribuan jamaah yang datang dengan membawa tasbih untuk melantukkan zikir dan doa-doa penuh harapan. Cahaya lampu menyapa komplek Dayah pinggiran dekat singai bersejarah menggantikan cahaya bintang yang tersembunyi di balik kabut, menciptakan atmosfer sakral yang seakan menghangatkan seluruh jiwa yang hadir. Setiap langkah mendekati mimbar terasa bagai mengukir kenangan, mengingatkan setiap insan pada masa-masa ketika sang mursyid pernah membimbing mereka dengan kelembutan dan ketegasan.
“Tiap haul merupakan momentum bangkitnya harapan,” ujar Tgk. Salamuddin, seorang alumni yang kini berkecimpung aktif di dunia pendidikan dan dakwah. “Pertemuan seperti ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi merupakan komitmen untuk meneruskan nilai keilmuan dan keimanan yang telah diajarkan oleh Abon Seulimeum.” Ungkapan itu menyatu dengan lantunan zikir yang mengalun, menyatukan hati dalam satu doa, satu irama, menuju keabadian perjuangan sang ulama.
Tak lama sebelum tengah malam menyingsing, keheningan malam pecah oleh lantunan zikir yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Nabil, atau yang kerap disapa Tgk. Akhan, bersama para guru dan tokoh keagamaan lainnya. Suara zikir itu lembut namun penuh kekuatan, seolah menghapus jarak antara dunia fana dan keabadian yang dijanjikan oleh iman. Setiap kata yang terucap mengalirkan kehangatan dan meneguhkan tekad setiap insan untuk terus mengangkat perjuangan ilmu yang telah diwariskan.
Di tengah irama zikir, Tgk. Sabral Muda, seorang agamawan yang dikenal dengan ketegasan namun juga kelembutan hatinya, menyampaikan betapa pentingnya perjuangan Abon Seulimeum. “Beliau bukan hanya seorang guru, melainkan penopang iman di tengah arus modernisasi dan pemikiran yang berusaha mengikis nilai-nilai tradisional keislaman. Setiap doa dan zikir malam ini mengingatkan kita bahwa perjuangan beliau tetap hidup dan terus menginspirasi,” ujarnya sambil menahan air mata yang menunjukkan betapa dalam pengaruh sang mursyid terhadap jiwa-jiwa yang hadir.
Sosok Abon Seulimeum: Singa Aswaja yang Tegas dan Penuh Cinta
Di balik setiap lantunan zikir dan doa, tersembunyi sosok Abon Seulimeum yang dikenal sebagai singa Aswaja. Julukan itu bukan tanpa alasan. Dengan kebijakan dan kekuatan ilmu yang dimilikinya, Abon Seulimeum tak segan-segan menegur dan menantang pemikiran radikal yang berusaha mengubah esensi keislaman tradisional. Ia dikenal sebagai ulama yang berani, yang selama hidupnya menjaga keaslian tarekat syattariyah dan khulwatiyah yang telah diperjuangkan oleh ayahandanya, Abu Seulimeum.
Melalui ajaran tarekat yang diambil Ayahandanya dari Syekh Hanafiah Samalanga, Abon Seulimeum berhasil melestarikan tradisi spiritual yang mendalam. Ia tidak hanya meneruskan jejak para ulama terdahulu, tetapi juga mengembangkan pendekatan dakwah yang inklusif, menggabungkan kehalusan tasawuf dengan kekuatan retorika dalam menegakkan kebenaran. Semangatnya untuk menjaga nilai keislaman membuatnya menjadi figur yang disegani sekaligus ditakuti oleh kaum Wahabi, yang sering mencari celah untuk merusak fondasi keilmuan tradisional.
Keberanian dan kekuatan intelektual Abon Seulimeum tercermin dalam setiap khutbah, setiap zikir, dan setiap helaan doanya dan ucapanya. Ia mengajarkan bahwa keimanan haruslah hidup dan berkembang, bukan berdiam dalam tradisi yang kaku. Warisan tarekat syattariyah yang ia jaga merupakan simbol perjuangan melawan arus modernisasi yang merugikan nilai-nilai keislaman. Dengan semangat itulah, hingga saat ini, para santri dan alumni Dayah Ruhul Fata terus berupaya mempertahankan warisan ilmu yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Pada saat ritual doa bersama dimulai, suasana semakin haru. Tgk. Sulaiman atau akrab disapa Abu Leman Ulee Glee alumni senior yang pernah merasakan langsung bimbingan Abu Wahab dan Abon Seulimeum, terlihat terpaku dalam keheningan penuh makna. “Duduk di mimbar ini, mengenang kasih sayang beliau, seolah setiap doa menjadi pelukan hangat yang menguatkan tekad kami untuk meneruskan jejak mulia beliau,” bisiknya dengan lirih. Air mata yang mengalir adalah bukti betapa besar pengaruh dan cinta yang telah ditanamkan oleh sang mursyid kepada para muridnya.
Begitu pula Tgk. Mursalin Zakaria, yang kini memimpin Dayah Irsalul Fata di Pidie Jaya, menyatakan bahwa kehadiran Abon Seulimeum merupakan fondasi kokoh yang memberikan rasa aman di tengah derasnya arus globalisasi yang kadang mengikis nilai tradisional. “Beliau adalah benteng keimanan yang menjaga kemurnian ajaran, sehingga kami selalu merasa terinspirasi untuk terus menegakkan kebenaran dan memperkokoh identitas keislaman kami,” ujarnya penuh keyakinan.
Transformasi Dayah dan Harapan Menuju Masa Depan
Dayah Ruhul Fata Seulimeum bukan hanya bangunan fisik dengan asrama bertingkat, mushala beratap rumbia, dan perpustakaan yang menyimpan ratusan kitab kuning. Ia adalah simbol perjuangan, ikatan para santri, dan perpustakaan nilai keilmuan. Di balik kesederhanaan fasilitasnya, tersimpan semangat pengembangan diri dan dorongan untuk terus belajar demi mempertahankan warisan yang telah dibangun oleh para pendahulu.
Diskusi antargenerasi yang berlangsung menjelang Haul ke-9 pun menunjukkan betapa pentingnya menjaga nilai keilmuan tradisional di era modern. Para alumni, ulama, dan santri berkumpul untuk saling tukar pikiran dalam rangka memastikan bahwa setiap nilai yang ditanamkan oleh Abon Seulimeum—baik melalui tarekat syattariyah, khulwatiyah, maupun melalui pendekatan keislaman yang moderat—tidak akan hilang ditelan waktu.
“Kita harus menulis bab baru dalam sejarah dayah, dengan tetap berpijak pada ajaran murni sang guru. Haul ini menjadi momentum untuk menegaskan komitmen kita menjaga dan meneruskan warisan ilmu yang telah dibangun sejak dulu,” ujar salah satu tokoh muda dengan penuh semangat.
Saat doa penutup dikumandangkan, suasana meresap dengan keharuan dan kebersamaan. Setiap suara doa bergema, seolah menyatukan seluruh umat dalam satu nyanyian keabadian. “Ya Allah, lapangkan kubur guru kami, terangi jalannya, dan jadikan kami penerus jejaknya,” suara doa itu mengalun di tengah ruangan, mengikat setiap hati dalam satu ikatan yang kuat.
Meskipun malam itu usai dan keheningan kembali menyelimuti setelah shalat Isya, semangat perjuangan, teladan keilmuan, dan kekuatan tarekat yang dilestarikan oleh Abon Seulimeum tetap hidup. Setiap doa, setiap lantunan zikir, setiap tetes air mata yang jatuh di sajadah para santri, adalah bukti bahwa perjuangan sang ulama tidak pernah pudar, melainkan terus menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang.
Warisan yang Tak Lekang oleh Waktu
Haul ke-9 Abon Seulimeum bukan sekadar ritual tahunan semata. Ia adalah perayaan jiwa, upaya menyatukan hati dan jiwa, serta pengikat generasi pengabdi ilmu. Dalam setiap langkah, doa, dan lantunan zikir yang mengisi malam itu, tersirat pesan bahwa nilai keimanan, keikhlasan, serta tekad untuk mempertahankan ajaran murni akan selalu menjadi fondasi yang kuat dalam menghadapi zaman yang terus bergulir.
Melalui peringatan ini, Dayah Ruhul Fata Seulimeum menegaskan pentingnya menjaga warisan ilmu yang telah ditanamkan oleh para pendahulu—dari Abu Seulimeum, melalui Abon Seulimeum, berkah Tgk Abi Hanafiah dan Abon Aziz Almantiqi. Semangat tarekat Syattariyah dan khulwatiyah yang telah diwariskan dari Syekh Hanafiah Samalanga terus hidup sebagai jiwa perlawanan terhadap arus radikalisme dan modernisasi yang mengikis nilai keislaman tradisional.
Tentunya dengan tekad yang membara, generasi muda dan para santri berjanji untuk terus mempertahankan identitas keilmuan dan keimanan yang telah diwariskan. Di balik setiap lantunan zikir malam itu, tersimpan kisah perjuangan, kerinduan, dan semangat abadi yang selalu mengingatkan: bahwa keabadian seorang guru tidak pernah lekang oleh waktu. Ia hidup di dalam setiap doa, setiap pelajaran, dan setiap langkah menuju masa depan yang penuh harapan serta pancaran cahaya kebenaran.
Hari itu, di balik Haul ke-9, keheningan malam dan lantunan zikir menjadi saksi bisu bahwa perjuangan Abon Seulimeum sebagai "Singa Aswaja" tetap menjaga dan melestarikan warisan tarekat yang telah dicanangkan oleh pendahulunya. Dan dengan demikian, setiap insan yang hadir telah bersumpah dalam hati, untuk selalu meneruskan jejak mulia itu—menuju keabadian, menyatukan hati, dan menggapai cita-cita luhur demi peradaban keislaman yang hakiki.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI