Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekasih Daun

8 April 2023   14:17 Diperbarui: 8 April 2023   14:22 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by pixabay.com

Pas pukul 35 derajat, perempuan itu tampak berjalan dari arah batas rimba, aku mengamatinya, seperti biasanya dia melalui terotoar dengan memanggul bunga warna rona untuk dijajakan ke pasar. Namun dari kejauhan perempuan itu tidak memanggul kembang seperti kemarin, dia hanya membawa daun hijau berona satu dimensi, tak ada warna selain hijau dan hijau.

Aku beranjak dan menyusulnya saat gadis ayu itu melintas. Tunggu! Kataku memotong langkahnya.
Kenapa? Aku bertanya menatap bakulnya.
Tidak apa-apa! Sahutnya merunduk.
Bunga-bunga itu?
Tidak. Tidak mengapa! Katanya lagi sembari menghindar dan meneruskan langkahnya.

Aku tak mengingkarinya dan membiarkannya. Sore nanti aku akan mengantarmu lagi! Aku berteriak di langkah jauhnya tapi dia tak menoleh sekalipun, wajahnya semakin tertunduk.

Pukul nol derajat kami kembali ke departemen untuk beristirahat sekaligus membersihkan diri dan mengasah peralatan supaya tajam dan rata, untuk digunakan menyapu juga meretas rumput dan daun tanah. Sementara hati tak sabar, pukul 270 derajat pun tiba untuk usaha menggapai perempuan bunga hutan. 

Akupun bergegasa menjelang pekan yang hampir punah waktu harinya dan beruntung masih mendapatkan wajahnya. Gadis itu sedang bergegas membereskan dedaunan niaganya yang hanya separuh terjual.

Ah, biarkan aku memikulnya! Aku mendekat dan menyentuh bakulnya.
Dia menatap jalur mataku, terlihat sinar mata yang buram, wajahnya yang tirus menambah kelam di seluruh permukaannya meski kecantikan masih menetapkannya.

Perempuan itu menggeleng dan menolak tawaranku, dia meraih bakul dan memuat dedaunannya yang mulai berwarna karmizi. Lalu dia berdiri dan melangkah menuju mentari pulang.

Biarkan aku mengawalmu, please? Aku masih memohon. Namun dia hanya merunduk seakan memberi sasmita untuk melepaskannya saja. Aku melihat parasnya yang merah kecoklatan bekas hari-hari mentari dan membiarkannya kali ini, berlalu bersama angin yang meniupkan aroma daun-daun tua yang biasa ku sapu di sepanjang rimbunan jalan.
Kali ini kusadari, bukan lagi wangi bunga seperti biasa terendus saat ku berada di dekat perempuan itu, demikian segra beralih nuansa herbal daun kali ini menyelimuti tubuhnya.

Perempuan itu berjalan menjauh dalam pandangan merah-coklatku, ada rasa kehilangan sehabis sepekan suci terlewati dengannya. Seperti perasaan yang mengisahkan tentang musim gugur, merah bata dan fragrans tanah karmizi.
***
Hari kedelapan adalah hari malas, namun kerja adalah perjalanan yang harus aku lakukan, sebagai lumrahnya aku sang penyapu daun jalanan. Dan aku tahu sejak hari itu aku tak lagi mendapati perempuan pintu rimba, aku tak lagi menampak sosok dan parasnya yang pucat mempesona.

Hanya daun daun yang jatuh semakin lebat sejak kehilangan, beserta aroma karmizi yang selalu sama di tebal guguran daun di lapis tanah. Aku hanya terus menyapu dan menyapu namun tak pernah bisa menghapus lagi bersih lantai jalanan, daun-daun itu terus saja gugur berkejaran dengan gerak sapuku.
Semenjak hari itu aku terus menyapu daun-daun jatuh, terus dan terus, melebihi waktu kerjaku, melewati  siang dan malam, melampaui hari hari kerjaku dan akhirnya melewati usiaku. 

Lelaki penyapu daun itu enggak pernah pulang seusia hidupnya! Demikian orang-orang lalu lalang berkomentar. Kasian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun