Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berpura-pura Menjadi Penulis

10 Desember 2021   15:26 Diperbarui: 10 Desember 2021   15:29 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber dari pixabay.com

Saya duduk di lantai 4 apartemen yang luxury, mesin pendingin ruangannya bekerja dua puluh empat jam. Udara yang bersih menghancurkan keaslian hembusan asap tembakau saya, campuran aroma yang aneh itu dibenturkan, sesekali membuat langkah saya limbung. 

Saya merokok hampir duabelas jam, dan memakan separuh oksigen pendingin brengsek itu, meski tanpa dia, saya seperti ikan di luar kolam. Saya dan tembakau dan pendingin, terjebak di kotak dinding mewah ini.

Semula saya berpenghuni di lantai 2, bercampur  banyak selebritis. Tapi mereka, maksud saya mereka yang lain, yaitu orang-orang jalanan di bawah itu, melemparkan segala benda ke kaca jendela apartemen saya.  

Saya mendiamkan, kerna saya memaklumi. Tapi yang terbaru atau breaking news,  mereka melemparkan pot bunga yang suaranya berdentum menghantam jendela saya, sampai membuat kaca tebalnya retak dalam.

Hei! Charlie! Kamu keluar dari sana! Mereka berteriak sembari berjalan di bawah dan menyambit-nyambit. Tangan mereka mengacungkan jari tengah. 

Hei! Charlie! Kamu sucks! Sampai itulah saya pikir mereka kebablasan, saban melewati kamar keren saya diatas jalan mereka, mereka bersuara kencang terkadang cukup ekstrim. Hei! Charlie! Kamu ***hole! Pergilah ke neraka, bocah tua!

Apakah itu teman-teman anda tuan Charlie? Begitu sekuriti menggeruduk di pintu apartemen saya. Saya tidak ingin menjawab gamblang, hanya saya mengangkat bahu.

Baiklah, tuan Charlie! Anda harus mengganti kerugian ini! lanjut satpam itu. Saya tak ingin menyahut komplen mereka, hanya menganggukkan leher.

Lalu saya menyelesaikan administrasinya dan mengajukan request untuk pindah ke lantai 4, sampai sekarang ini.

Lumayan, bisa sedikit banyak merampungkan masalah, meski masih adanya hujatan dan lemparan jahanam itu, namun tidak akan mencapai level 4 kamar jendela saya. Lemparan sekian kilo apapun tak bisa menjangkau ketinggiannya, serta hujatan kotor yang terlontar hanya terdengar seperti kumur-kumur. Dan saya bisa bekerja sekarang. Menulis!

Seperti sore ini, saya menulis, membungkuk, sudah melahap jam ke enam sedari pagi tadi, masih berpakaian piyama berwarna emas endorse dari sebuah butik ternama, namun lembar yang saya ketik hanya tulisan salon. 

Saya liren sekejap, mencoba menyerap suara-suara jalanan di bawah namun nihil, mungkin bunyi itu sudah bosan tersengat matahari. Saya memaksakan lagi, masih berpura-pura menjadi penulis. Sehingga membuat lambung saya mual.

Sayapun menjejak berdiri, menjarah rak buku di belakang saya duduk, tapi hanya menggeletakkannya saja sebuah buku di meja. Saya menggaruk kepala saya yang sudah menipis rambutnya, sementara sel-sel otak saya seperti melambat termakan usaia renta cuma untuk mencari sepotong kata.

Saya menyalakan sigaret putih dan menghampiri kaca jendela, memandang ke bawah, ke pedestrian kosong, tempat orang-orang terotoar berdemo itu. Saya tiba-tiba rindu teriakan-teriakan bsusuk mereka, hujatan mereka yang overrated, tapi saya masih bisa merasakan suara kejujuran di sebaliknya. Saya melamun menghitung satu dekade silam.

Kruiingg.. Tiba-tiba pesawat genggam saya bergetar di atas meja, saya menyambutnya.

Hei! Tuan Charlie! Apakah engkau disitu? Terdengar suara tinggi wanita.
Yes! Mem! Saya menjawab seperti pelayan.

Apakah engkau masihmenulis sampah lagi? Lihat! Aku sudah mengrimkannya kembali! Kau lelaki tua yang sudah berbeda! Apakah sebenarnya engkau asli?
Maaf! Mem! Saya meminta pardon.

Tidak! Kita sudah selesai dengan kontrak ini! Anda mengerti bahwa ini palsu! Tulisan anda fake! Perempuan di seberang itu melengking, suaranya sudah pol. Lalu terdengar sesuatu di banting.

Ada rasa marah  membahana di dada, tetapi rasa sesak lebih dominan saya rasakan. Dan hari ini mayoritas deadline naskah dari saya dengan hutang yang bertumpuk. Membuat mereka marah karena tenggat yang termakan dan mutu naskah yang payah.
Beberapa komentar dari kritikus universitas telah lama semakin menyudutkan saya dari waktu ke waktu. Tidak selayak silam. 

Kini Charlie ternyata penulis palsu! Demikian headline kolom kritis sastra mutakhir. Dan mereka merayakan waktunya untuk pesta menghina penulis Charlie.
Charlie penulis cuan! Charlie penulis grosiran! Itu terang-terangan! Begitu kelompok editor sepakat seperti menghadapi musuh bangsa nomor satu.

Saya menyedot dalam-dalam tembakau membara ini, membuang asapnya ke langit-langit dalam bulatan-bulatan kabut. Baunya terasa pahit di kamar mewah bersuhu dingin.

Saya kembali mematung duduk di kursi kerja yang empuk, memegang keyboard branded,  kedua tangan saya tenggelam di dalamnya, mengetik line-line yang cepat memenuhi halaman dalam sekejap. Namun saat saya mencernanya kembali, saya benar hanya penipu dari tulisan yang berpura-pura. Saya teringat dan terlempar ke dalam pasaran.

Hari merambah senja, selangkah lagi akan berubah guram penanda malam. Dari siluet kaca jendela apartemen mewah, lampu-lampu jalan mulai berkelip. Menyalakan jalanan. Jalanan dan bangku taman tempat saya silam menulis tangan, dengan baris sederhana yang sama yang saya pelajari dari kedai-kedai murah, dari tempat-tempat sampah.

Saya mengangkat perangkat mutakhir laptop saya, menepikan dan membuka jendela sisi jalannya, lalu saya melemparkannya keluar. Gedubraakkk! Teknologi informasi itu membentur lantai konblok terotoar, hancur berderai berkeping-keping.
Orang-orang yang sudah mulai berkerumun di bawah terperanjat, mengangkat wajah-wajah asli mereka ke jendela saya.

Hei! Charlie! Apakah kau sudah gila? Mereka berteriak bersamaan. Beberapa tangan mereka di setripkan miring di kening.

Lalau saya berlari keluar menuju lift dan memencet lobi, setibanya di lantai itu saya menghujam pintu apartemen menuju jalanan tempat mereka berkerumun. Mereka melongo.

Hei! Charlie! Apakah kau telah kembali? seseorang bertampang sesepuh bertanya.
Saya tak menjawab, saya hanya mengangguk dan merentang kedua lengan saya. mereka berlarian menyambut saya.

Horee! Charlie telah pulang ke jalan! Brengsek kau Charlie! Kau tidak bisa berpura-pura, kau benar-benar penulis jalanan! Orang-orang berkumpul semakin riuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun