Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Mati

24 Juni 2021   18:44 Diperbarui: 24 Juni 2021   18:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jess Foami dari Pixabay

Tirai jendela separuh tersibak, terlihat matahari pulang ke barat meninggalkan serat. Rumah kayu ini menjadi sunyi meski beberapa masih bersimpuh sepi. Lantai berwarna kilap memberi cerminan orang-orang dengan bibir terkatup. Lelaki katanya akan pulang, demikian ibu-ibu tetangga berbisik.

Sehabis berapa lama? Perempuan baya saling beradu mata dan menggelengkan kepala tanpa batas jawaban.

Lelaki tak pernah pulang! Ibuku berkata dengan kacamata yang berembun. Lalu tak ada pertunjukan suara kecuali bisu. Aku tahu mereka prihatin, sampai tahun tak terhitung lelaki meninggalkanku. Teramat silam melupakan, apakah ada cinta lagi bahkan apakah pernah ada cinta? Aku sudah tak merasakannya lagi kecuali waktu yang berjalan.

Aku berbaring di atas tilam yang tebal dan mencium aroma harum setaman. Ternyata beberapa remaja putri melangkah masuk dengan beberapa ikat kenanga dan melati. Mengharu-biru ruangan dan menuansakan udara rumah dengan fragran yang ku sukai.  

Terimakasih! Ucapku dalam hati.

Beberapa perawan lain membawa penganan berwarna pisang dan merah gula yang tampak sedap menggiurkan selera.

Silakan ibu-ibu! Ibuku menyilakan kepada tamu yang bergerak perlahan, untuk merambah tipis hidangan. Tak banyak yang memulai malah sisanya berdiam dengan mata yang lurus.

Belum juga datang? Ketua rukun menanyakan hal kepada ibuku.

Sebentar lagi. Baru saja tiba di setasiun, infonya! Ibuku tampak rikuh menjawab dengan gawai di tangannya.

Dan benar, selang beberapa penggal waktu lelaki itu tiba dipintu yang membuka di tengah. Kerna aku menghadap ke ruang depan, kupikir aku yang pertama melihatnya. Lelaki itu seperti tak pernah berubah, meski terlihat dengan latar senja dan bayang tumbuhan hijau yang merayap di dinding.

Meski tahun berlalu banyak tak terhitung, lelaki itu masih tampak tegap seperti potretnya dahulu muda. Sedikit kerut yang tak terelakkan di parasnya, serta janggutnya yang  tipis kasar memberikan kesan perjalanan hidup yang tidak gampang.

Maaf saya baru bisa hadir! Dia berbasa-basi, berupaya dengan rasa mendalam dapat terlihat dari garis-garis wajahnya dan lunak matanya. Seakan mengatakan bahwa waktu yang sedemikian besar tidaklah mudah untuk dimaafkan, meski kenangan rumah dan tetangga terlihat masih tersimpan dengan baik.

Ibu yang pertama kali dihampiri dengan tubuh membungkuk yang lebih dari separuh, lelaki menghormati bercampur sesal namun tak mengurangi wibawanya.

Ibu menjadi kaku sekujur terutama wajah sepuhnya. Bahwa lelaki ini telah terlupakan dan berusaha mengembalikan di ujung usianya untuk memperbaiki kenangan. Lelaki itu berusaha memeluk ibuku dengan gerakan luruh seakan semua kesalahan ada di punggungnya dan akan ditanggungnya sampai akhir. 

Dan ibu pun luluh dalam dekapan lengan kuat lelaki itu, seperti mengatakan juga bahwa ibu sudah enggak memiliki siapa kecuali lelaki hilang ini.

Jangan lagi petualang! Ibu berucap lirih dengan pipi deras berlinang

Lelaki itu membisu lewat mata beningnya yang menyiratkan bahwa sejatinya dialah petualang yang dimiliki alam.

Sehabis reda dia menghampiriku, dan membungkuk di atasku. Dia mengira aku tertidur dan tidak bisa mendengar nafasku. Tapi aku bisa mendengar dia berkata.

Oh, perempuanku yang malang! Belahan jiwaku yang tersayang!

Sesaat dia memalingkan wajah tegarnya yang membuat keheningan yang sangat dalam, dan aku tahu dia menangis. Kembali ke wajahku, dia mengambil tanganku di tangannya sembari sebelah tangannya merapikan lipatan kain kafan, sehingga wajahku tercermin jelas di matanya.
Lalu lelaki itu membelai lembut wajahku dengan dukanya.

Dia tidak mencintaiku hidup, tapi sekali mati, dia mengasihani aku, dan itu sangat manis untuk mengetahui dia masih hangat meskipun aku kedinginan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun