Maaf saya baru bisa hadir! Dia berbasa-basi, berupaya dengan rasa mendalam dapat terlihat dari garis-garis wajahnya dan lunak matanya. Seakan mengatakan bahwa waktu yang sedemikian besar tidaklah mudah untuk dimaafkan, meski kenangan rumah dan tetangga terlihat masih tersimpan dengan baik.
Ibu yang pertama kali dihampiri dengan tubuh membungkuk yang lebih dari separuh, lelaki menghormati bercampur sesal namun tak mengurangi wibawanya.
Ibu menjadi kaku sekujur terutama wajah sepuhnya. Bahwa lelaki ini telah terlupakan dan berusaha mengembalikan di ujung usianya untuk memperbaiki kenangan. Lelaki itu berusaha memeluk ibuku dengan gerakan luruh seakan semua kesalahan ada di punggungnya dan akan ditanggungnya sampai akhir.Â
Dan ibu pun luluh dalam dekapan lengan kuat lelaki itu, seperti mengatakan juga bahwa ibu sudah enggak memiliki siapa kecuali lelaki hilang ini.
Jangan lagi petualang! Ibu berucap lirih dengan pipi deras berlinang
Lelaki itu membisu lewat mata beningnya yang menyiratkan bahwa sejatinya dialah petualang yang dimiliki alam.
Sehabis reda dia menghampiriku, dan membungkuk di atasku. Dia mengira aku tertidur dan tidak bisa mendengar nafasku. Tapi aku bisa mendengar dia berkata.
Oh, perempuanku yang malang! Belahan jiwaku yang tersayang!
Sesaat dia memalingkan wajah tegarnya yang membuat keheningan yang sangat dalam, dan aku tahu dia menangis. Kembali ke wajahku, dia mengambil tanganku di tangannya sembari sebelah tangannya merapikan lipatan kain kafan, sehingga wajahku tercermin jelas di matanya.
Lalu lelaki itu membelai lembut wajahku dengan dukanya.
Dia tidak mencintaiku hidup, tapi sekali mati, dia mengasihani aku, dan itu sangat manis untuk mengetahui dia masih hangat meskipun aku kedinginan.