Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luna, Istri yang Patah Hati

4 Juni 2021   17:50 Diperbarui: 4 Juni 2021   18:23 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Hieu Van dari Pixabay

Luna memulainya dengan mentari, seperti mata bulat indah dan kulit putihnya. Lalu dengan rambut pirang kemilau menuliskan puisi jatuh cinta. Aku membacanya dengan keindahan yang sejujurnya tak ku ketahui benar. Barangkali bagiku, lebih menarik sebuah resep atau barangkali karena aku pemeluk non-sastra? Ah! Namun setelah membacanya, aku menciumnya, Luna yang cantik dan wanginya semerbak membuatku pantas mendapatkannya. 

Lalu kami pun berpacaran dengan waktu yang rasanya berkejaran, aku yang sibuk sebagai dokter dan Luna yang ku pikir lebih banyak memikirkan bumi sebagai penyair. Dan kami bertemu di kuali seperti dua sayuran yang berbeda rasa.

Perempuan Luna semula adalah idaman segala pria, bahkan aku yang seorang dokter tak juga mungkin mendapatkannya, apalagi dokter dengan kelas kaum urban kota sepertiku, maksudku dokter pinggiran. Mungkin Luna melihat sesuatu yang tak terlihat di dalam diriku, atau mungkin dia melihat ku ada di dalam syair fiksinya. Entahlah! 

Yang jelas kami berbincang dan mata indahnya membicarakan cinta sedang aku seperti air mengalir layaknya, berada diantara keduanya , cinta dan kebutuhan pendamping sebagai lelaki. Lalu kita menjalani asmara yang di antara cinta, syair dan praktek dokter. Ketiganya berkelap-kelip kadang berbaur dan tak jarang berjalan sendiri-sendiri. Saat kemudian kami menikah dan menjalani kehidupan yang lebih bertanggung jawab.

"Tak ada orang lain di pinggiran ini, kecuali dokter Ben!" Demikian masyarakat melakukan pembicaraan yang berkaitan dengan kesehatan dan penyakit. Terlebih di bilik-bilik kumuh atau tenda kopi murah, mereka memang kesulitan akses dan aku hadir di tengah mereka.

"Kita tak perlu membayar karena dokter yang baik hati!" kata mereka saat berbondong-bondong menuju tempat operasiku. Aku sendiri, seorang dokter, kurang begitu hirau dengan pembicaraan mereka. Aku hanya bekerja dan melihat penyakit untuk disembuhkan. Meski kerap kesal dengan penduduk yang sebagian besar lemah tapi sembrono, tidak menjaga kesehatannya maksimal sesuai kemampuannya. Dan yang lebih penting dari segala, aku menyukainya. Ada rasa rindu melihat pesakitan yang papa menjadi sehat setelah remediku.

"Dokter melakukan lebih banyak untuk orang-orang kota pinggiran ini" kata pasien. Dan aku hanya mengerutkan alis, berfikir apakah ini perkara pujian atau rayuan. Bahkan aku tak juga tertarik memikirkannya..
"Dokter Ben, adalah dokter yang baik hati dan mudah bergaul" Tambah mereka yang membuatku tertawa saja.

"Semoga dokter sehat, dan bahagia dalam keberuntungan yang nyaman . diberkati dengan istri yang menyenangkan, dan anak-anak dibesarkan dengan baik" Mereka berturutan berpendapat dan mendoakan, yang kupikir dari hati yang sederhana dan lugu.

Menyentuh pula akan doa mereka pada kehadiran keluargaku, istriku Luna, dan dua anak lelakiku yang sehat dan pintar-pintar.  Memang tidaklah mudah bagiku untuk memberikan sebagian besar waktu untuk kedua anak lelakiku, terlebih istriku Luna sang penyair. Waktuku begitu tersita oleh pengobatan dan perbaikan kesehatan kota pinggir ini yang mungkin dinilai agak gila untuk mencoba merubah kesehatan mereka yang marginal. Namun mungkin sudah menjadi passion, aku sendiri tidak merasakan ini menjadi beban bagiku.

Aku pun mempunyai semboyan, kerja, kerja, kerja. Bahkan sampai tak lagi mengenal week-end dalam kalender, semua hari terasa sama yang adalah hanya harinya pekerjaan. Kecuali untuk hal-hal urgent, yang masih mendapat perhatian dariku seperti studi anak-anak yang kuinginkan mereka mengikuti jejakku. Sedang Luna istriku yang tetap cantik, memang dia adalah sosok perempuan yang lembut dan diam, seperti idiom diam itu emas, maka akupun juga menaruh respek akan kemandiriannya.  

Tak pernah sebersitpun dia komplen atau beradu-debat soal pekerjaanku yang menyita waktu keluarga yang seakan tidak mengacuhkan kehadirannya. Namun setahuku dia terlihat cukup banyak meluangkan waktu sendirinya dengan menulis, yang mana membuatku tenang dan tak merasa bersalah atas kekurangperhatianku. Namun yang cukup membikinku nyaman,  sekilas  berita dan omong-omong diluar, bahwa bahwa Luna telah menjadi penyair yang  cukup diperhitungkan di kancah para penyair lokal maupun interlokal di kota ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun