Dan begitulah waktu demikian cepat berlalu seperti kereta super cepat yang digadang-gadang bakal menjadi lompatan transportasi yang belum pernah ada di negeri. Meskipun tenaga dan pikiranku masih tercurah kepada warga-warga kelas bawah yang terus berjuang untuk kesehatan dan pengobatan mereka, usiapun harus membatasi untuk tidak lagi sekuat dan setangguh di masa usia produktif.Â
Begitu pula halnya dengan dengan keluargaku. Kedua anakku sudah menyelesaikan pendidikan tingginya, dimana anak lelaki tertua mengikuti jejakku menjadi dokter spesialis paru yang saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta kelas atas di kota metropolitan. Sedang adiknya, si bontot lebih senang ngutak-ngatik komputer, kini menjadi doktor IT dan bekerja di luar negri, di sebuah kota di negara maju.
Sehingga tiggalah hanya kami berdua, aku dokter Ben dan istriku Luna sang penyair, menjalani hari-hari tua kami, masih dengan kesibukan masing-masing. Luna, yang cantik meskipun di ketuaannya, Â kadang menulis meskipun tak seintens masa-masa dulu. Namun sedikit berbeda dengan diriku meskipun tua, aku tetap semangat melayani pengobatan orang-orang pinggiran kota ini, kerna memang aku mencintai mereka untuk mengobati dan menolongnya. Meskipun masih juga banyak menyita waktu Luna yang hanya tinggal berdua denganku, aku merasa segalanya berjalan baik-baik saja dan normal adanya seperti tahun-tahun berjalan.
Hingga kemudian pada suatu malam, ketika pulang dari klinik kota, aku mendapati istriku Luna terbujur lemas di ranjang. Wajahnya pucat dan matanya basah. Dia terlihat begitu lemah, membuatku terkesiap dan sigap memeriksanya. Bahwa kudapati denyut nadi yang lemah dan kesulitan bernapas. Aku berusaha mengobatinya dengan segenap kemampuanku, namun dia hanya memegang tanganku dengan lemah lembut. Seakan mengisyaratkan untuk suatu kerelaan akan kepergian selama-lamanya.
"Luna jangan pergi sayang..." Aku melolong, ketika tidak berhasil menyelamatkannya. Dia meninggal di dalam pelukanku.
Selanjutnya adalah masa duka di depanku dan di depan segala pekerjaanku. Betapa dia adalah istri yang kuat mendampingi diriku sebagi seorang pengabdi masyarakat. Hingga satu pekan setelah kepergiannya, saat teman-teman teman sepenyairannya berkunjung ke rumahku yang sendiri, mereka dengan wajah sedih, menyerahkan buku-buku kumpulan puisi dan syair Luna seumur hidupnya, yang aku terima dengan rasa duka dan terima kasih.
Lalu dalam kesendirian, akupun membacanya setelah mereka meninggalkan rumahku. Lembar demi lembar puisi Luna kubaca yang ternyata hampir semua berkisah tentang kesendiran, kesedihan, ketakbahagian dan patah hati. Tubuhku terasa lunglai dengan hati rusak, betapa seumur kisahnya aku bisa luput memperhatikan perasaanya yang terlihat baik-baik saja. Aku ternyata telah salah besar memaknai penyair Luna, apalagi sebegitu lama, Â hampir di sepanjang kehidupan kami berdua.
Aku menangisi berkepanjangan, sesal yang tak guna serasa telah menghukumku. Apalagi setelahnya, muncul beberapa selentingan kabar yang merambat perlahan dan membuat saya semakin merasa tertekan dan bersalah. Kabar bahwa istriku meninggal karena patah hati.
Seterusnya aku makin terpuruk hidup tanpa daya dan hanya mengurung diri berhari-hari bahkan berbulan-bulan, sampai pneumonia menghabisiku.