Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Stasiun Tua

20 Mei 2020   15:32 Diperbarui: 20 Mei 2020   20:38 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Victoria borodinova on Pixabay

Ada sejuta kenangan ku bawa. Seperti lagu latar filem Mat Peci, ketika di stasiun tua ku bertemu, disitu ku berpisah.  Dan ini cerita tentang stasiun kereta tua yang sepi dan dingin. Dimana di pagi buta aku menanti untuk menjemputmu. Aku hanya tau nama kamu Hesti, selebihnya hanya imajinasi dari gambaran nenek kost ku tentang raga seorang gadis, yang tentu saja gampang terhapus dalam otakku yang pelupa, di sepanjang jalan ke stasiun yang rabun.

Embun berat yang mengepul ke dasar cukup membekukan tubuhku yang meski dibalut 'trucker jacket', melindas aspal basah dengan sepeda motor butut ku. Setiba di stasiun yang telah lanjut, kuambil duduk di bangku panjang yang pudar.

Menunggu kamu dengan segan, kerna kereta katanya sedikit terlambat. Ku mengusir bosan dengan menguap dan mencoba bersama malasnya sepi, mengingat lagi bicara nenek semalam.

Namanya Hesti, bergaun biru, berambut lurus sebahu dan selebihnya aku abai. Lalu ku tenggelam kembali dalam napas pagi yang melayangkan pandang rel kereta lengkung hilang di rona remang pagi yang mentah. Hingga di kantuk yang menyerang, sang kereta memekak, tiba tiba muncul lambat merapat. Bau besi rem kereta yang menyengat  segera menghapus engganku, buat bersiap mengamat sosok penumpang turun. Tak pula berjumlah penumpang berlabuh tak lah banyak kerna kecil dan tuanya stasiun perantara ini. Sehingga tak sulit menemukan perempuan berbaju biru, yang menyeruak lembut dari pintu kereta yang tinggi.

Perempuan yang tiba tiba membuat mata malasku ngejreng, jreng. "Cantik nian?" begitu kalbuku menggugat. Perempuan kurus dan berpipi tirus menurun undakan besi pintu kereta dengan kasut kainnya. Mata bundarnya berkeliling dan berhenti di mataku, lalu membentuk senyum yang kutangkap indah, seperti masing masing mengatakan bahwa akulah penjemput dan kamulah terjemput. Ku merapat menyongsong, serta merta menyambut tas kainnya tanpa ragu.  "Hesti?". Dia mengangguk senyum "Ben?". Aku balas mengangguk. 

Dia berpegangan lenganku beranjak turun, lalu kami bersisihan melangkah, meski kurasakan sedikit lambat  langkah kaki rampingnya, namun ku iramakan saja menjadi seiring. "Trima kasih, sepagi kamu jemput" katanya. "Jangan dipikirkan" sahut ku. Pembicaraan pendek dengan suara lirihnya, seperti memperlambat untuk tidak demikian saja melalukan atmosfer stasiun sunyi berwarna cokelat pucat. Yang sedikit orang orangnya, yang banyak embunnya dan yang bertemperamen sejuknya. Membuat kami yang baru bertemu, seperti mengunci rapat bibir, membiarkan saja udara stasiun  kota dingin mengambil alih penuh semua awal kisah.

"Ku lapar Ben.."
"Ah, oke. Yuk" aku menggamitnya memasuki satu satunya kafe kecil, yang ku mengerti akan menghangatkan Hesti dan perutnya, yang dengan serta merta aroma kafe menyesak harum kedalam indera.  Dan kami mendapati diri kami sebagai  pelanggan pagi pertama yang duduk di jendela,  berpandang belahan rel stasiun yang masih bersinar merkuri bercampur sedikit putih pagi.

"Roti panggang yang enak disini" aku berlagak membuka menu.
"Aku sukak, Ben"

"Oke, minum susu kopi? Aku kopi pekat" ku tatap dia mengangguk bersetuju, dan aku membikin tulisan pesanan. Yang bersegera pesanan merapat di meja, dengan kepulan putih aroma kopi menyebar ke udara. Dan Hesti meraih setangkup roti panggang yang tampak ranum, menggigitnya perlahan lewat bibir indah tipisnya. Tak ada canggung ketika dia tau aku mengamatinya yang mungkin cukup detil sebagai raut pesona yang indah.
"Mmm.. masih seperti dahulu" tuturnya menerus lahapnya.
"Maksudmu?.."

"Roti ini, Ben.."
"Bukan. Maksudku kamu pernah disini?"
"Tentu saja. Ku habiskan sma disini bersama nenek. Belum pernahkah nenek bertutur sedikit tentang aku?" gadis di depanku senyum berderai.
"Ah, iya. Tapi entahlah.." aku si pelupa hanya mengangkat bahu.
"Barangkali saja. Tapi berapa lama sudah kamu kost di nenek?"
"Mmm.. lima bulan.." kuacungkan lima jari tangan sambil sibuk mengunyah penuh roti panggang.
"Praktek kerja?" mata indahnya menduga.

"Iya, di panas bumi" kupkir pastilah dia tau, mengingat kota kecil ini diingat hanya kerna sumber energi panas buminya. Lalu aku pun menghabiskan dipiring yang tersisa, sementara Hesti membiarkan lebih dari separuh roti di lingkaran piring putihnya. Mau ku bertanya perihal ini, namun ku pikir itu tidak sopan.
"Hei, bagaimana kamu? Kesini buat berlibur?" aku memecah lagi kebekuan.
"Bisa jadi.." dia tampak ragu dengan jawabnya.
"Maksudmu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun