Sudah lebih dari satu bulan almanak, burung burung itu beringsut. Barangkali ini burung terakhir yang masih mau menurun bumi, selebihnya sudah memilih habitat langitnya menjauh dari tanah buana. Â
Mungkin alam yang bertindak sebagai ibu yang memberikan kenyamanan bagi setiap mahluk hidup, mulai menakutkan burung burung itu. Â Seakan dia tau bahaya yang ditimbulkan oleh dunia yang jauh lebih besar dan lebih kuat. Menjadi ketakutan yang mengisyaratkan tentang interaksi manusia dengan alam.Â
Burung burung itu jauh lebih waspada kepada manusia, kerna sejatinya dia begitu berhati hati berjingkat menginjak bumi, memperlakukan alam selembut adanya tersedia di bumi. Memakan cacing tanah dan mereguk embun sesuai dengan kebutuhannya. Â
Tak harus memperkosa bumi untuk mencari air dan lauk, burung hanya pergi mencari ke tempat air dan cacing, dimana tetap membuat embun dan rumput menjadi nyaman.Â
Sejauh ini, hidupnya telah disajikan sebagai gerakan sederhana dari kebutuhan ke kebutuhan.  Mempersilakan kumbang yang lewat melayang, sang burung  berusaha secara sadar untuk membiarkan lebah mencari gerak hidup alam, bagai dirinya sendiri yang sadar akan dunianya.
Habis sudah pagi kali ini, mulai tertelan terik. Kupastikan bahwa itulah burung terakhir yang turun ke jalan kota. Burung sendiri yang turun ke bumi. Akupun beranjak pergi, sebelum  tubuhku teracuni violet berlebih, meninggalkan taman yang senyap, tanpa lalu lalang.
Ku keluhkan sepi dan kehadiran burung  burung yang telah usai, kerna ku tau hanya ku sendiri yang tersisa. Sementara nafas berat yang semula berat perlahan mulai menyurut ringan. terlalu ringan, kupikir.Â
Saatnya ku kenakan masker dan bersiap mengangkat kedua sayap besarku, untuk bersiap berangkat  ke awan.