Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Kepin

26 Mei 2019   02:16 Diperbarui: 26 Mei 2019   02:33 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai lelaki Kepin tidak menangis. Bahwa saat kematian ibundanya, dia menerima lapang beserta iringan doa dan pesan untuk perjalanan baru sang bunda. Yang mewek justru istrinya, Aurin. Entah, mungkin musabab dia mantu yang paling  dialem oleh ibu mertuanya. 

Pemakaman pun baru saja berlalu, wangi bunga tabur pun usai,  dipekuburan sunyi dikota padat yang macet.

Kepin dan Aurin berdiam dijalan pulang. Hanya sesekali, sesenggukan bininya menyela di kesunyian ruang kendara. Kepin sendiri menelisik ruang pikirannya soal kenangan bundanya yang otomatis menyeruak ke pojok pojok lawasnya. Dari mulai potret kanak kanak yang menyusur liar hingga masa mature nya, dimana paras ibunya terlukis jelas, berubah ubah dari keayuan masa enomnya hingga sisa elok di bayanya. Kepin merindu sangat ibunya, lumrahnya anak lelaki ditinggal ibu mati.

Ibu memang mesti pergi, sama dengan setiap orang mesti mati. Meski Kepin mengerti kematian, tapi Kepin tidak suka pemakaman. Kepin perutnya mules, jika bersinggungan dengan kuburan. Bolesumpa! Dia masih memegang kencang memori ketika mbah wedoknya sedo. Kepin kecil tak kwasa membanjir muntahnya, saat melangkah keliang makam dikala itu. Membuatnya terbujur semaput.

Kepin memejam kelopaknya berusaha mengusir trauma.

"Sudah selesai" lirihnya sonder sadar.

"Yayang.." Aurin istrinya merekap erat jemari suami, melempar pandang lembut, walau mata biru beloknya masih berbekas urai.

"Yaang.." masih belum tanek, Aurin merlesak kebahu supouse nya, sepertinya mau menyetip pikiran jelek di benak suaminya. 

Hingga akhirnya mobilpun merapat ke haribaan kediaman pasangan muda ini. Dan hari itu sudah menjelang sore.

***

Langit malam masih terlihat muda, namun keduanya sudah terlelap diperaduan. Kecapean.

Hanya ketika lewat paruh malam, sontak kejadian Kepin belingsatan didalam tidurnya. Kata orang itu sih, tindian.

"Uuhh..eehh...iihh.." Kepin meronta seakan ditindih balok rumah.

"Yang..yang.." Aurin terbangun kejut  lalu mengguncang kepala swaminya.  Namun Kepin bergeming, angger saja dia tetap huhehih.

"Cape deh.." Aurin sedikit sewot, lelapnya terganggu. Menekan tombol lampu, lalu meraih kemasan  air mineral dan segera membanjurkan ke muka Kepin yang bermimik aneh. Tentu Kepin dingin gelagapan.

"Hujan..eh.." Kepin keburu ngeh, ketawa sendiri.

"Kamu ngimpi apa yang?"

"Basah yang"

"Ngimpi basah?"

"Bukan. Kepalaku basah" Aurin senyum pingin njitak swaminya tapi kurang tega.

"Tidur aahh.." Aurin mematikan lampu untuk kembali mapan.

Lalu gelap, diikuti tidur ngorok halus Aurin seperti pelor, nempel molor. Tersisa suaminya yang grasak grusuk nggak bisa tidur, nggak bisa tidur, seperti sorakan gagal  acara super dealnya Andika dan Edric.

Tapi bukan itu nian soal.  Kepin ketakutan di gelap kamarnya kali ini, bersamaan pula dengan kamarnya yang  dirasakan seperti mengecil hingga  seukuran peti. Kasur tidurnya pula terasakan miring tak rata. AC kamar pun serasa mati, tanpa hembusan dari hisapan udara luar. Suara ditelinganya kedap, nyes tanpa bunyi. Kepin begitu jerih, seakan terperangkap selamanya, di tempat yang kecil dan gelap, yang tak lagi tersentuh pagi, tidak jua tersentuh siang. Hanya sempit gelap dan balik lagi gelap sempit begitu seterusnya.

Kepin horor sangat, dia berusaha membangunkan istri lelap disisinya, namun tanpa membuahkan hasil. Aurin malah berpaling meringkuk gulingnya rekat. Ujungnya Kepin enggak kuasa lagi, dia menghambur, meraba raba daun jendela, sekilat terbuka diapun menerjang keluar berlari menjauh hingga ke pekarangan depan, sambil meneriakkan istrinya.

"Aurin sayang. Cepat keluar! Cepat lari..!!!" seketika dilihatnya tengadah. 

Atap rumahnya dipenuhi bunga tabur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun