Mohon tunggu...
Alfa Bamsky
Alfa Bamsky Mohon Tunggu... Just human being yang hobi bikin artikel ringan, lucu dan renyah.

Better late than never...

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

LEWAT DJAM MALAM (1954), Ketika Merdeka Raga Tak Berbanding Lurus Dengan Merdeka Jiwa

19 Juli 2025   14:03 Diperbarui: 19 Juli 2025   14:03 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iskandar Sang Pahlawan (Sumber: montasefilm.com)

Tumbuh Kembang Dalam Kesederhanaan

Insan film Indonesia di awal kemerdekaan dihadapkan pada keterbatasan alat dan teknologi. Sadar akan hal ini maka para sineas kerja keras-kerja cerdas dengan memfokuskan karya mereka pada isi konten. Maka jangan heran bila kita dapati kualitas film-film Indonesia di fase ini begitu ciamik dan berbobot!  

Adalah film "Lewat Djam Malam" yang bukan sekedar film klasik, tapi cermin historis para pemuda Indonesia pasca-kemerdekaan. Dirilis pada tahun 1954 dan disutradarai oleh maestro Usmar Ismail, film ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perfilman nasional, bahkan diakui dunia melalui restorasi internasional.

Inti Konflik Dan Sinopsis Cerita

Tokoh utama kita adalah Iskandar, seorang pahlawan muda nan gagah berhati teguh. Di medan laga ia rela perlaya ke haribaan Tuhannya demi kemerdekaan Indonesia.

Syahdan, perang pun usai.

Iskandar kembali ke kehidupan nyata menjalani hari hari sebagai seorang karyawan sipil di Bandung. Dari sinilah awal cerita berkembang: Idealisme nasionalis seorang Iskandar bertabrakan dengan realita pragmatis yakni masyarakat yang korup, selfish serta jauh dari nilai-nilai kemerdekaan.

Di sisi lain, Iskandar si pemuda gallant kita juga terus dihantui rasa bersalah sebab membunuh seseorang atas perintah atasan yang ternyata keliru! Untuk mengobati lara hati, Iskandar menemui teman-teman seperjuangannya. Namun alangkah terkejutnya ia mendapati rekan-rekan hidup matinya di medan juang kini telah berubah menjadi kumpulan insan manipulatif bergelimang kemewahan.

Mereka sebut diri mereka pahlawan, yang dengannya masyarakat Indonesia menaruh respek dan memberikan banyak privilege untuk mereka. Padahal sejatinya mereka culas, minim kontribusi, tak jujur dan tak layak untuk mendapatkan tempat bermartabat yang kini tengah mereka jabat. Ironis!

Iskandar kita guncang!

Ia tak memiliki lidah seperti kawan-kawannya yang mampu bertutur elok sedap memikat telinga masyarakat Indonesia. Iskandar merasa terasingkan oleh kehidupan yang ia perjuangkan. Ia merasa satu satunya skill yang ia miliki adalah mengangkat senjata dan memberondong musuh di medan laga!

Pergulatan hebat terjadi dalam dada Iskandar!

Etika, moral, cinta dan trauma berkelindan-berbenturan tak sesuai harapan. Kian Iskandar merenung kian memuncak konflik didalam dirinya. Tak ia temukan kedamaian batin. Iskandar pun tersadar: Dirinya hidup di luar jam malam baik secara harfiah maupun batiniah.

Kian lama Iskandar kian 'teralienasi' dari kehidupan nyata. Idealisme yang mengakar kuat dalam dirinya membuncah. Pasca Indonesia merdeka, Iskandar tak mau lagi bergabung ke dalam pasukan inti. Praktis laku Iskandar ini dianggap desersi (kabur dari pasukan) tanpa izin setelah kembali dari medan perang. Ya, Iskandar dicap pembangkang!

Dirinya menolak bergabung kembali ke dalam militer sebab kekecewaan mendalam terhadap moral rekan-rekannya yang berubah. Di dalam selubung hati yang kalut, Iskandar berniat mengungkap kejahatan eks-komandannya, Gunawan, yang memperkaya diri setelah perang. Namun sayangnya dengan cara anarkis-konfrontatif.

Alhasil pihak militer melihat Iskandar sebagai ancaman, karena ia selalu mengantongi bedil ke mana-mana. Ia sambangi dus interogasi orang-orang dengan cara intimidatif. Dalam adegan ini Iskandar tampak emosional, tidak stabil dan terguncang.

Akhir Cerita

Meski dikemas hiperbolik dan dramatis, sang sutradara film sukses menyampaikan pesan tentang Iskandar sebagai representasi pejuang idealis yang tak kenal kompromi dengan realita hidup pasca kemerdekaan yang begitu hedon dan pragmatis. Betapa sang pahlawan frustasi mendapati suara nurani manusia-manusia seperti dirinya terabaikan dan tak mendapatkan tempat.

Indonesia yang saat itu masih 'remaja' lebih memilih menjaga stabilitas daripada mendengarkan kritik moral yang disampaikan oleh seorang ekstrimis. Iskandar pun ditangkap aparat dan dianggap subversif. Ia dijatuhi hukuman mati dihadapan regu tembak!

Sang hero pun dibawa ketempat sunyi melewati jam malam. Disanalah dirinya dieksekusi. Timah panas menghujam jantungnya!

Sejatinya Iskandar bukanlah penjahat perang, ia hanya tak cocok dengan sistem baru. Ia adalah pahlawan yang tak bisa hidup dalam tatanan yang dibangun dari kompromi, korupsi, dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai perjuangan. Benturan hati menjadikan dirinya tumbuh kembang menjadi pribadi yang militan dan ekstrim.

Dan bagi para pemujanya, kematian Iskandar adalah bentuk "penghabisan" rezim terhadap suara keadilan dan idealisme.

 

Kualitas Sinematografi dan Estetika

Berangkat dari kesederhanaan, Usmar Ismail tetap menampilkan pengaruh kuat sinema Eropa, terutama gaya realisme Italia. Kamera hitam-putih yang kontras, pengambilan gambar jalanan Bandung malam hari yang sunyi mencekam serta pencahayaan ekspresif, menjadikan film ini sangat kuat dari segi cerita, juga dari aspek teknis dan visual.

Musik yang minimalis justru memberi ruang pada suasana sunyi dan tekanan psikologis tokoh. Editing film sengaja di stel lambat namun presisi, adegan pun terasa hidup dan menyentuh!

Penghargaan dan Warisan Budaya

Tahun 2012, film ini direstorasi oleh World Cinema Foundation milik Martin Scorsese bersama National Museum of Singapore, kemudian ditayangkan kembali di Festival Cannes dan berbagai festival film internasional. Film 'Lewat Djam Malam' juga masuk dalam 100 film Indonesia terbaik sepanjang masa versi LSF dan kritikus film Indonesia.

Referensi:

  • Krishna Sen dalam bukunya Indonesian Cinema: Framing the New Order (1994), menyatakan bahwa Iskandar adalah personifikasi dari "kehilangan arah etika" dalam masa transisi negara.
  • Buku Usmar Ismail: Artist of Indonesian Independence oleh Salim Said juga menyebutkan bahwa film ini adalah "protes halus" terhadap transformasi revolusi menjadi status quo baru yang represif.
  • Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film Indonesia. Komunitas Bambu, 2009
  • World Cinema Project -- Martin Scorsese: https://www.film-foundation.org/lewat-djam-malam
  • National Museum of Singapore (2012). Restoration notes on Lewat Djam Malam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun