Pabrik Gula Gondang Baru yang terletak di Kabupaten Klaten, didirikan pada tahun 1860, oleh pemerintahan kolonial Belanda masih bercokol di bumi pertiwi. Setelah 157 tahun berdiri, seperti apa kondisinya sekarang? Berikut gambarannya.
Setelah cukup lama ingin bertandang ke Pabrik Gula Gondang Baru (PGGB) yang berlokasi di Desa Plawikan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, akhirnya, Rabu (11/1) siang, niat tersebut terealisasi. Produsen gula yang terletak di Jalan Raya Klaten - Jogja ini, menempati lahan hampir 14 hektar yang penuh pepohonan tua sehingga suasananya terasa sejuk di tengah sengatan matahari.
Usai memarkir kendaraan, seorang anggota satpam menghampiri. Setelah mengetahui keinginan saya untuk “blusukan” ke areal pabrik, ia meminta saya agar koordinasi di bagian informasi. Beruntung, kendati saya hanya mengenakan celana pendek plus kaos yang tertutupi jaket kumal, saya ditemui oleh Joko Indarto, selaku manajer operasional PGGB. Usai komunikasi singkat, dirinya bersedia mendampingi saya berkeliling pabrik. Keramahan pria berumur 30-an tahun ini layak diapresiasi.

Dipimpin oleh seorang Administratur berkebangsaan Belanda, PGGW benar-benar mengalami masa kejayaan. Maklum, lokasinya memang sangat strategis, saat itu wilayah Klaten, Boyolali dan sekitarnya merupakan lahan tebu yang luas. Guna mendukung produksi, perusahaan menggunakan sarana transportasi berupa kereta api uap. Otomatis, dibuat jalur rel tersendiri yang mengarah ke pabrik.
“Kalau sekarang, kita hanya produksi di bulan Mei hingga Oktober, tepatnya saat masa panen. Selebihnya, mesin-mesin menganggur. Karyawan hanya bertugas melakukan perawatan,” tuturnya.

Sembari berjalan, Joko menunjuk gedung besar yang sekarang difungsikan menjadi homestay. Dulunya, di jaman pemerintahan kolonial Belanda, rumah berarsitektur Eropa tersebut menjadi tempat tinggal Administratur. Sisa-sisa keangkuhannya masih terlihat jelas, di mana, selain berhalaman luas, di bagian belakang terdapat taman yang lumayan panjang sehingga dari kejauhan terlihat Gunung Merapi yang eksotik.
Tiba di bangunan kuno yang berfungsi sebagai pabrik, orang akan terpana dengan bentuk fisik gedung raksana ini. Tinggi atapnya sekitar 15 meter, sedang luasnya saya tak mampu menghitungnya. Nampak mesin- mesin giling uzur yang menggunakan tenaga uap. “Di sini satu-satunya pabrik gula yang mesinnya menggunakan tenaga uap, bahan bakarnya sekarang memakai kayu karet,” kata Joko.

Dari penjelasan Joko, bisa ditarik simpulan, ternyata perwujudan sesendok gula pasir harus melalui proses produksi yang rumit, mulai penanaman tebu, panen, pengiriman ke pabrik, penimbangan, penggilingan, hingga pengepakan. Semuanya memerlukan regulasi yang memakan waktu dan tenaga. “Makanya waktu itu, kita punya kepala masinis sendiri yang menempati rumah dinas di areal pabrik,” ungkapnya.
Mesin-mesin giling raksasa yang ada di PGGB, ternyata dibuat beragam. Salah satu mesin giling tertua dibuat tahun 1884 oleh Perancis. Sementara untuk pengangkutan, lokomotif tertua adalah loko merek Linkehofman buatan tahun 1923. Sayang, lokomotif tersebut sekarang teronggok tak berdaya, jauh dari kesan terawat.



Sebenarnya Joko masih sempat mengajak bertandang ke Museum Gula yang menurutnya hanya satu-satunya di Indonesia. Sayang, waktu saya terbatas sehingga saya menjanjikan lain waktu untuk kembali berkunjung. Itulah sedikit gambaran kondisi PGGB yang pernah mengalami kejayaan di pemerintahan kolonial Belanda. Anda berminat mengunjunginya? Silahkan, tak sulit menemukan lokasinya, ditambah ada edukasi yang sulit raib dari benak kita. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI