Posisi penulis sering lemah dalam konteks perjanjian jual putus yang seolah-olah hak cipta berikut hak cipta turunan seluruhnya dialihkan ke penerbit. Penulis tidak akan dapat menuntut kompensasi apa-apa lagi. Jadi, suka-suka penerbit mau ditawarkan hak cipta terjemahannya atau tidak. Namun, yang pasti ada keuntungan finansial di balik transaksi hak cipta terjemahan ini.
Penerbit Malaysia termasuk yang sering membeli hak cipta terjemahan buku-buku Indonesia karena relatif temanya juga disukai masyarakat Malaysia dan penerjemahannya tidaklah sulit. Namun, ada beberapa kejadian pelanggaran hak cipta yang dilakukan oknum penerbit Malaysia yaitu memutilasi karya.Â
Modus ini digunakan oleh penerbit yang melakukan pembelian putus terhadap naskah/buku dari penerbit Indonesia. Mereka membayar per buku dengan nilai bervariasi serta membayar di muka per judul buku. Namun, ketika diterbitkan dalam bahasa Malaysia, buku yang tadinya 1 judul dapat berubah menjadi 2-3 judul. Artinya, karya itu telah "dimutilasi" menjadi banyak. Hal ini jelas melanggar hak cipta meskipun transaksi yang dilakukan dengan sistem jual putus.Â
Di negara-negara maju, transaksi hak cipta atau copyright ini sudah menjadi bisnis yang menguntungkan. Karena itu, pameran-pameran besar dunia seperti Frankfurt Book Fair, London Book Fair, atau BookExpo America adalah pameran untuk transaksi hak cipta terjemahan, bukan menjual buku.
Pengalaman di Cairo Book Fair---ketika Mesir masih belum gonjang ganjing seperti saat ini---transaksi hak cipta terjadi dengan cara spontan saja. Cairo Book Fair merupakan surga bagi buku-buku Islam yang luar biasa.Â
Terkadang transaksi jual putus dilakukan di depan "lapak" buku dan mereka para penerbit itu sekenanya saja menyebut harga jual putus hak cipta terjemahan. Mereka menuliskan perjanjian dengan tulisan tangan, lalu bersalaman. Halal!
***
Indonesia sudah melek soal transaksi hak cipta ini dan sedang menuju ke sana sehingga banyak event perbukuan internasional yang diikuti. Namun, tentu pemerintah selain memfasilitasi keikutsertaan pameran itu, juga harus mempersiapkan para penulis dan proyek penerjemahan besar-besaran.Â
Terus terang saya "iri" dengan Malaysia yang memiliki Institut Terjemahan Buku Malaysia (ITBM) sudah sejak lama yang melaksanakan proyek penerjemahan buku-buku asing berkualitas dan sebaliknya, mendorong karya para penulis Malaysia diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Indonesia juga mampu seperti itu. Namun, hal yang juga harus dibenahi adalah soal kesadaran hak cipta. Penerbit boleh-boleh saja berbangga dan mendapat keuntungan lumayan, tetapi jangan lupakan penulisnya. Beri jalan penulis ikut menikmati "berkah" dari penerjemahan ini.[]