Melihat bocah sedang membaca, mungkin sama menariknya dengan membaca bocah. Seperti mengamati bakalan bunga. Menguncup, sebelum mekar. Jika mampu membayangkannya, ada bakalan keindahan. Lalu dirawat dan dipupuk. Pasti nanti akan mekar tanpa paksaan.
Mengamati perkembangan anak jangan seperti menggunakan sendok. Selamanya tak akan mampu merasakan nikmatnya sayur. Sendok itu benda mati. Tak paham sama sekali perbedaan rasa manis, asin, pedas, dan hambar. Itu baru sampai tahapan membaca saja. Belum mendalami hakikat makna.
Mereka paham, bahwa hamparan bunga awalnya dari sebutir biji. Biji demi biji tumbuh. Lalu menjadi lautan bunga.Â
Para penyuap dan yang disuap amatlah paham tentang bedanya kebajikan dan kejahatan. Tapi mereka lebih tertarik menjadi jahat, karena pasti segera panen tanpa menanam. Meniru bayi, rindu disusui. Salah asuh, yang paling sulit dibasuh. Belepotan lumpur, ingin hidupnya kian makmur.
Perilaku anak cenderung baik atau buruk tergantung pola asuh dan lingkungan. "Aja ninggal bocah, dolanan neng bandhulan". Berayun terasa nyaman. Lupa membedakan mana yang bahaya, mana pula yang aman.
 "Gegayuhan kuwi rumpil. Non est ad astra mollis e terra via". Tiada lagi keagungan, kecuali sesal yang berkepanjangan.