Dalam ingatan, cinta pertamaku tak hilang-hilang. Timbul tenggelam, tapi lebih banyak timbulnya.
Jika cinta itu saling menguatkan, kenapa dulu aku terkalahkan. Dengan sedikit kesalahan, dianggap dosa tujuh turunan.
Awalnya kuduga, cinta itu murni memberi dan menerima. Tetapi setelah banyak memberi, malah aku hanya menerima kenyataan. Banyak memberi, tapi sedikit menerima.
Itu pun aku bersyukur. Karena saya percaya mengalah itu sejatinya bukan kalah. "Wani ngalah, dhuwur wekasan". Katanya sih katanya, berani mengalah itu akan mendapat ganjaran setimpal. Ah sudahlah. Nasi telah menjadi bubur. Dilumat hancur.
Aku lantas menyingkir, walau aslinya tersingkir. Tersungkur, tapi tetap diminta bersyukur.
Kini aku sudah gagah. Namun kamu lebih gagah lagi.
Duka tetap tidak bisa mengobati luka. Kuduga sebentar saja, tapi ternyata mengabadi lama.