Pulang kantor bukan akhir, tapi awal dari tugas yang lebih melelahkan.
Aku jemput anak-anak, lalu ke pasar. Belanja sayur, telur, lauk---semua dihitung agar cukup sampai gajian. Di rumah, aku masak, cuci piring, bantu PR, mandikan anak, lalu menemani mereka tidur.
"Ayah, cerita dong!"
"Cerita apa, Nak?"
"Cerita Ibu..."Â
Aku menelan ludah. Lalu, dengan suara pelan, kuceritakan kisah lama---tentang cinta, tentang kehilangan, dan tentang janji untuk menjaga mereka.
22.00: Saat Ayah Bisa Menjadi Manusia
Anak-anak sudah tidur. Rumah akhirnya sunyi. Aku duduk di sofa, memegang secangkir kopi dingin. Di meja, tumpukan tagihan menunggu: listrik, air, SPP, cicilan motor. Di ponsel, notifikasi dari kantor: "Besok rapat jam 7 pagi."
Aku ingin menangis. Tapi aku tahu, besok pagi, aku harus tersenyum lagi. Karena mereka butuh ayah yang kuat---bukan yang rapuh.
Mengapa Ayah Tunggal Jarang Bicara?
Kami tidak sering mengeluh karena:
- Takut dianggap lemah.
- Tidak ingin merepotkan orang lain.
- Merasa ini adalah tanggung jawab yang harus kami pikul sendiri.
Tapi di balik diam itu, ada rasa lelah yang tak terucap. Ada kerinduan akan sosok yang bisa diajak berbagi beban. Ada keinginan sederhana: sekadar punya waktu 10 menit untuk diri sendiri.
Apa yang Bisa Masyarakat Lakukan?
Kita tidak perlu menjadi pahlawan. Cukup:
- Tanyakan kabar, bukan hanya pada ibu, tapi juga pada ayah tunggal.
- Tawarkan bantuan kecil: jemput anak sekolah, pinjamkan lauk, atau sekadar dengarkan tanpa menghakimi.
- Hentikan stigma: menjadi ayah rumah tangga bukan aib, tapi bentuk cinta yang luar biasa.
Penutup: Ayah Bukan Superhero, Tapi Manusia yang Memilih Bertahan
Aku bukan pahlawan. Aku hanya seorang ayah yang mencoba yang terbaik.
Aku lelah, tapi aku tidak menyerah.
Aku rapuh, tapi aku tidak runtuh.
Karena di balik setiap piring yang kucuci, setiap seragam yang kusetrika, dan setiap PR yang kubantu, ada tiga pasang mata yang percaya:
"Ayah bisa."Â
Dan itu cukup untuk membuatku bangun lagi besok pagi.
Karena cinta tidak pernah minta libur.