Beberapa waktu lalu, seorang rekan kerja dipromosikan menjadi kepala divisi. Di rapat perpisahan, atasan lamanya memujinya:
"Dia selalu positif, tidak pernah mengeluh, dan selalu membawa solusi."
Tapi saya tahu kebenarannya. Malam-malam, ia sering curhat di grup kecil:
"Aku capek banget pura-pura baik. Setiap masalah aku tutupi biar kelihatan kompeten."
Inilah wajah nyata dari sugar-coating di dunia kerja: menyajikan realitas dengan lapisan manis agar terlihat sempurna---bukan karena jujur, tapi karena takut kehilangan kesempatan.
Sugar-Coating: Seni Menyembunyikan Masalah demi Karier
Sugar-coating bukan sekadar berbohong. Ia adalah strategi bertahan hidup di lingkungan kerja yang menuntut citra sempurna.
- Laporan proyek gagal? Dikemas sebagai "proses pembelajaran".
- Tim sedang stres berat? Disampaikan sebagai "semangat kolaborasi tinggi".
- Deadline molor? Disebut "penyesuaian strategis untuk kualitas maksimal".
Yang mengejutkan, banyak perusahaan justru menghargai ini. Karyawan yang "tidak bermasalah" dan "selalu positif" dianggap lebih layak dipromosikan daripada yang jujur tapi vokal.
"Kalau kamu terlalu blak-blakan, kamu dianggap tidak punya soft skill," kata seorang HRD yang enggan disebut namanya.Â
Ketika Budaya Positif Jadi Alat Represi
Ironisnya, budaya "selalu positif" justru menciptakan tekanan psikologis yang berbahaya.