Beberapa waktu lalu, seorang teman dekat mengaku telah berselingkuh. Bukan karena cinta baru, bukan karena dendam, tapi karena—dalam katanya—"aku merasa seperti tinggal serumah dengan orang asing."
Pasangannya sibuk bekerja, ia sibuk mengurus anak, dan di antara rutinitas itu, komunikasi yang bermakna menguap perlahan. Mereka tidur di ranjang yang sama, tapi jiwa mereka berada di dua dunia berbeda.
Kisah ini bukan pengecualian. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, selingkuh bukan lagi soal nafsu semata—tapi soal kelaparan emosional yang tak terpenuhi.
---
Selingkuh Bukan Hanya di Ranjang, Tapi di Ruang Hati
Kita sering mengira selingkuh adalah tindakan fisik: pesan diam-diam, kencan rahasia, atau hubungan terlarang. Tapi jauh sebelum itu, selingkuh dimulai dari kehampaan batin.
Pasangan hidup yang dulu saling berbagi mimpi, kini hanya bertukar daftar belanjaan.
Yang dulu saling menatap mata, kini hanya menatap layar ponsel masing-masing.
Yang dulu saling mendengarkan, kini hanya “iya-iya” tanpa benar-benar hadir.
Dalam kesepian itu, datanglah seseorang—rekan kerja, teman lama, bahkan orang asing di media sosial—yang mau mendengar, memuji, dan membuat kita merasa “dilihat” lagi. Dan di situlah batas mulai kabur.
“Aku nggak mencintainya. Aku hanya butuh seseorang yang peduli,” kata teman saya, suaranya penuh penyesalan.
---
Kota Besar: Tempat Paling Kesepian di Dunia
Ironisnya, di tengah keramaian Jakarta yang dihuni 10 juta jiwa, rasa kesepian justru paling tajam terasa. Kita hidup dalam budaya hustle: bekerja dari pagi hingga malam, mengejar karier, bayar cicilan, urus anak - tapi lupa mengurus hubungan.
Media sosial memperparahnya. Kita melihat pasangan orang lain liburan romantis, makan malam berdua, atau saling memeluk di foto ulang tahun. Lalu kita membandingkan dengan kenyataan kita: makan nasi sisa sambil menonton YouTube, tanpa percakapan berarti.