Ketika Dunia Runtuh di Usia 35 Tahun
Tahun 2012 adalah tahun yang menghancurkan hidupku. Istriku, satu-satunya teman bicara, mitra hidup, dan pengurus rumah tangga, meninggal dunia karena komplikasi penyakit yang datang tiba-tiba. Aku ditinggalkan bersama tiga anak---yang paling kecil baru berusia 3 tahun.
"Ayah, kapan Ibu pulang?"
Pertanyaan itu menghantamku setiap malam. Dan aku tak punya jawaban yang tak membuat mereka menangis.
Tiba-tiba, aku harus menggantikan peran yang tak pernah kubayangkan: menjadi ibu sekaligus ayah. Masak, cuci baju, urus sekolah, antar-jemput, bahkan menenangkan anak yang demam tengah malam---semua harus kulakukan sendiri, sambil tetap bekerja penuh waktu.
Tidak ada pelatihan untuk ini. Tidak ada manual. Hanya insting dan rasa takut kehilangan mereka juga.
---
Saat Anak Sakit dan Pekerjaan Menuntut: Titik Paling Rapuh
Enam bulan setelah kepergian istriku, anak bungsuku dirawat di rumah sakit karena demam tinggi yang tak kunjung turun. Di saat yang sama, kantor sedang mengejar deadline proyek besar. Aku bolak-balik antara kantor dan rumah sakit, mata memerah, tubuh lelah, pikiran kacau.
Ada malam di mana aku duduk di lorong rumah sakit, memegang laporan medis, sambil menahan tangis. Aku sempat berpikir untuk resign.
Baca juga: Momen yang Tak Terbeli: Saat Hujan, Payung Rusak, dan Seorang Taksi Driver Berhenti Tanpa Diminta "Lebih baik aku jadi pengangguran daripada kehilangan anak juga," bisikku pada diri sendiri.
Tapi keesokan harinya, sahabat lamaku datang membawa nasi bungkus dan kata-kata yang menyelamatkanku:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!