Mohon tunggu...
bambang riyadi
bambang riyadi Mohon Tunggu... Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Disclaimer: Informasi dalam artikel ini hanya untuk tujuan umum. Kami tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi ini. Konsultasikan dengan profesional sebelum membuat keputusan. Kami tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari penggunaan informasi ini. Artikel lainnya bisa dilihat pada : www.effiqiso.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kesehatan Jiwa Generasi Muda: Isu Kemanusiaan yang Terus Diabaikan

26 September 2025   19:00 Diperbarui: 25 September 2025   15:00 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kesehatan Jiwa Generasi Muda| Canva.com


Pada suatu malam di akhir 2024, seorang mahasiswi semester akhir di Surabaya mengunggah satu kalimat pendek di Instagram Story-nya: "Aku lelah. Tapi aku takut bilang ke siapa-siapa."

Dalam hitungan jam, unggahan itu dibanjiri pesan pribadi dari teman-temannya: "Aku juga," "Aku tiap hari nangis diam-diam," "Aku pura-pura baik-baik saja." Tidak ada drama besar, tidak ada teriakan---hanya deretan kalimat pendek yang membongkar luka kolektif yang selama ini dipendam.

Ini bukan sekadar cerita sedih. Ini adalah gejala dari sebuah krisis kemanusiaan yang terus diabaikan: kesehatan jiwa generasi muda Indonesia berada dalam kondisi darurat.

Angka yang Mencemaskan

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023 menunjukkan angka yang mencemaskan: prevalensi gangguan mental emosional pada kelompok usia 15--24 tahun meningkat menjadi 16,2%, naik signifikan dari 8,7% pada 2018. Artinya, hampir 1 dari 6 anak muda mengalami depresi, kecemasan, atau stres berat.

WHO juga mencatat bahwa bunuh diri telah menjadi penyebab utama kematian bagi remaja usia 15--19 tahun di Asia Tenggara. Di balik angka-angka itu, ada ribuan anak muda yang setiap hari berjuang melawan bayangan gelap dalam pikiran mereka---dengan dukungan yang nyaris tidak ada.

Stigma: Musuh yang Paling Menyakitkan

Yang lebih menyedihkan, ketika mereka meminta bantuan, yang datang justru stigma.

"Kamu cuma kurang ibadah," kata sebagian orang tua.
"Generasi manja," ujar yang lain.
"Cari kerja aja, biar nggak mikirin hal-hal aneh."

Bahkan di lingkungan kerja dan sekolah, isu kesehatan jiwa masih sering dianggap sebagai aib atau tanda kelemahan karakter. Akibatnya, banyak yang memilih diam, menahan rasa sakit, dan terus berpura-pura kuat---sampai titik patah.

Saya pernah bertemu Dina, mahasiswa magang di Jakarta. Ia mengaku sering bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk menangis. "Kalau saya bilang stres, takut dibilang nggak profesional. Padahal, otak saya seperti komputer yang freeze terus."

Sistem yang Belum Siap

Sayangnya, sistem layanan kesehatan kita belum siap menampung gelombang masalah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun