Mohon tunggu...
bambang riyadi
bambang riyadi Mohon Tunggu... Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Disclaimer: Informasi dalam artikel ini hanya untuk tujuan umum. Kami tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi ini. Konsultasikan dengan profesional sebelum membuat keputusan. Kami tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari penggunaan informasi ini. Artikel lainnya bisa dilihat pada : www.effiqiso.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Speak Up Itu Berani, Tapi Jangan Biarkan Korban Sendirian: Peran Kita Semua Lawan Kekerasan Seksual di Kampus

24 September 2025   19:00 Diperbarui: 22 September 2025   09:59 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi unjuk rasa  memprotes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus|voaindonesiacom

“Yang berani speak up mungkin hanya sepuluh, padahal kejadiannya bisa jauh lebih besar.” Kalimat dari Taufan Setyo Pranggono, Ketua Tim Kerja ADIA LLDikti Wilayah III, ini seperti mengungkap fenomena gunung es yang selama ini terpendam di dunia kampus.

Kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan isu baru. Namun, fakta bahwa sebagian besar kasus tidak pernah tercatat karena korban memilih bungkam, menjadi alarm merah bagi dunia pendidikan kita. Stigma, rasa malu, relasi kuasa dengan dosen atau senior, hingga ancaman dilaporkan balik — semua ini membuat korban terjebak dalam bisu yang menyakitkan.

Tapi harapan mulai muncul. Melalui Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, pemerintah mewajibkan setiap kampus membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual). Mereka bukan hanya penanggap darurat, tapi juga garda depan dalam pencegahan: melakukan survei sensitif, kampanye edukatif, serta memberi pendampingan psikologis dan hukum.

Dari Satgas hingga AduinAja: Langkah Nyata Menuju Kampus Aman

Beberapa kampus sudah menunjukkan komitmen nyata:
- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mendirikan PLT-PPKS sebagai pusat layanan terpadu.
- Platform digital seperti AduinAja hadir sebagai ruang aman untuk melapor secara anonim.
- Kampanye publik digencarkan untuk mengubah budaya "diam" menjadi budaya dukungan.

Namun, tantangan masih besar. Banyak mahasiswa belum tahu keberadaan Satgas. Budaya victim blaming masih kuat. Dan yang paling mengerikan: relasi kuasa. Bagaimana seorang mahasiswi bisa melawan dosen yang menentukan masa depan akademiknya?

Seorang aktivis kampus yang enggan disebutkan namanya berkata: "Kami butuh lebih dari sekadar aturan. Kami butuh kampus yang benar-benar aman, tempat korban tidak takut melapor, dan pelaku tidak dilindungi."

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Perubahan tidak bisa datang hanya dari atas. Butuh partisipasi semua pihak:

1.  Dosen & Pegawai: Jadilah first responder yang responsif, bukan yang menyalahkan.
2.  Mahasiswa: Bangun budaya saling dukung. Jika temanmu bercerita, percayai. Dampingi. Jangan sebarkan.
3.  Kampus: Sosialisasi masif tentang Satgas dan mekanisme pelaporan. Pastikan independensinya.
4.  Masyarakat: Hentikan stigma. Kekerasan seksual bukan aib korban, tapi kejahatan pelaku.

Penutup: Keamanan adalah Hak, Bukan Privilege

Pendidikan harusnya menjadi ruang aman untuk belajar, berkembang, dan bermimpi. Bukan tempat di mana rasa takut menggantikan semangat belajar.

Pembentukan Satgas dan platform seperti AduinAja adalah langkah maju. Tapi itu hanya awal. Yang dibutuhkan adalah transformasi budaya — dari kampus yang diam, menjadi kampus yang peduli, melindungi, dan memulihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun