---
Pada 2 April 2025, tagar #TolakRUUKorupsi meledak di jagat media sosial. Bukan karena orasi di depan gedung DPR atau kampanye partai, melainkan dari sebuah video TikTok berdurasi 58 detik buatan seorang mahasiswi hukum di Malang. Dalam videonya, ia menjelaskan dengan tenang—tapi tajam—mengapa rancangan undang-undang baru justru bisa membuka celah korupsi sistemik.
Video itu ditonton lebih dari 3 juta kali dalam 48 jam. Aksi jalanan pun digelar di 12 kota, diprakarsai bukan oleh organisasi mahasiswa tradisional, melainkan oleh jejaring akun anonim di X dan grup Discord.
Peristiwa ini bukan kebetulan. Ia adalah bukti nyata bahwa Generasi Z tidak apolitis—mereka sedang mengganti skrip politik yang usang.
Politik yang Palsu vs Politik yang Autentik
Lama kita diberi narasi bahwa anak muda masa kini acuh tak acuh terhadap urusan negara. Survei tentang rendahnya minat Gen Z terhadap partai politik sering dikutip sebagai bukti “kemandulan politik” generasi muda.
Namun, klaim itu keliru. Masalahnya bukan pada Gen Z, tapi pada definisi politik yang kaku.
Bagi generasi sebelumnya, politik = partai, pemilu, jabatan, dan struktur formal.
Bagi Gen Z, politik = keadilan, etika, dan partisipasi kolektif.
Mereka tidak menolak politik—mereka menolak politik yang palsu: pencitraan tanpa substansi, janji yang tak ditepati, dan sistem yang terus menguntungkan elite sambil mengabaikan rakyat kecil. Mereka tidak percaya pada retorika “perubahan” yang hanya muncul lima tahun sekali. Mereka ingin bukti, bukan pidato.
Dan ketika sistem konvensional gagal merespons, mereka menciptakan saluran sendiri.
Demokrasi Digital: Gerakan Tanpa Pemimpin, Tapi Penuh Suara
Dari Hong Kong hingga Kenya, gerakan sosial yang dipimpin Gen Z menunjukkan pola serupa: cair, transnasional, dan didorong oleh kreativitas digital.