Untungnya, ada upaya melestarikan. Di beberapa daerah, seperti di Yogyakarta dan Lombok, tarik tambang dimasukkan dalam festival budaya. Di sekolah-sekolah, jadi bagian dari olahraga tradisional. Bahkan pernah saya lihat, ada kompetisi tarik tambang antar-kelurahan yang disiarkan langsung di media sosial.
Itu harapan. Karena kita butuh lebih dari sekadar hiburan. Kita butuh ruang untuk belajar percaya, bekerja sama, dan merasakan bahwa kekuatan sejati bukan lahir dari satu orang, tapi dari banyak tangan yang saling menguatkan.
Di akhir acara, tim pemenang tak langsung pulang. Mereka membantu membersihkan lapangan, tertawa bersama lawan, bahkan berbagi makanan. Tidak ada dendam, hanya kepuasan atas perjuangan bersama.
Saat saya pulang, kaki masih lengket oleh lumpur. Tapi hati terasa ringan. Di tengah hiruk-pikuk zaman, ternyata kearifan lokal masih bisa mengajari kita banyak hal.
Lomba tarik tambang mungkin cuma seutas tali dan dua tim. Tapi di dalamnya, ada jiwa bangsa yang masih bernapas: kompak, gotong royong, dan tak mudah menyerah. Jangan biarkan ia punah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI