"Ngapain di sana?"
"Kemarin itu, dia dengan banyak teman-temannya kan ikut mendemo Gubernur. Dan salah satu poskonya di rumah Wati yang besar itu..."
"Kenapa kamu ijinkan ikut demo segala, Ir? Kalau cowok sih nggak apa-apa. Tapi Ita itu, kan cewek yang ringkih fisiknya. Nanti kalau terjadi apa-apa, gimana?"
Irma langsung mencoba meredam kekuatiran ibunya. Ia beberkan alasan-alasannya. Pertama, karena mereka sendiri termasuk korban banjir baru-baru ini. Karena amat dirugikan, mereka punya hak untuk menuntut pemerintah daerah dan kepala daerahnya. Gubernurnya yang sekarang, dinilainya lalai. Tidak antisipatif dan tidak becus dalam menangani banjir tahunan. Sebab itu, mereka tidak saja berunjuk rasa, tapi juga telah mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri.
Kedua, demo masalah banjir bukan demo politik, seperti pilkada atau pilpres. Jadi pasti berlangsung lebih tertib, aman dan damai. Karenanya, Irma ijinkan adiknya mengikutinya.
***
Hari-hari ini ibunya amat prihatin terhadap Ita Wulandari. Pasalnya ia tengah didekati oleh seorang pria yang umurnya dua kali lipat dari umurnya. Dan jika Ita mau, setelah diwisuda beberapa bulan lagi, akan segera dinikahi.
"Aku kuatir banget, Nduk," ujar ibunya di sore harinya, "hubungan dengan gap usia seperti itu, akan lebih banyak susahnya..."
"Bukankah dulu selisih yuswa almarhum Ayah dengan Ibu sendiri, seperti itu juga?"
"Bener Irma! Justru karena aku sudah alami sendiri, maka sebaiknya jangan sampai terjadi pada Ita. Cukup Ibu sendiri saja...."
"Masak Ibu menderita bersuamikan Ayah? Seingatku, waktu itu Panjenengan berdua sangat bahagia, kok?" Irma menyanggah seperti tidak terima.