Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mami, Yati Ogah Mati!

1 Agustus 2020   15:52 Diperbarui: 1 Agustus 2020   15:43 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada beberapa kata yang paling Yati benci. Yaitu kata: "mati", "wafat", "tewas", "gugur" atau "meninggal dunia", dan yang searti lainnya. Kata-kata itu amat menggemetarkan jiwa raganya. Amat menghantui dan menerornya. Karenanya,  semampu mungkin kata itu dihindarinya. Setiap mendengarnya, Yati atau Aryati Permatasari, buru-buru menutup telinganya atau menjauhinya. Kenapa?

Perasaan seperti itu dialaminya sejak kematian ayahnya. Dalam sebuah kecelakaan tunggal, ayahnya harus meninggalkan dirinya dan maminya untuk selama-lamanya. Padahal usia ayahnya itu masih terbilang muda, yaitu masih tiga puluh tujuh tahun. Karuan saja peristiwa itu amat mencabik-cabik hati remaja putri itu.

"Aku sangat mencintaimu dan menghormatimu! Bahkan amat membanggakanmu, Papi! Tapi ngapain sih, Papi kok tega banget ninggalin kami?" teriakan ketidakmengertian itu memang hanya menggema di hati Yati.  Namun itu berlangsung berbulan-bulan lamanya.

"Katanya Engkau Mahakasih, Tuhan! Tapi kenapa kok Engkau terlalu cepat memanggilnya? Apa Engkau sudah tidak mengasihi aku dan Mami lagi?" pertanyaan bernada protes tersebut pun kerapkali masih juga mencuat dari jiwanya yang ringkih.

"Mami, pokoknya moge (motor gede) ini kudu dikeluarin dari rumah kita....!"

"Lho, ngapain sayang? Kan kalau kita kangen Papi, moge ini sedikit banyak bisa mengobatinya, sayang?" cegah halus maminya.

"Pokoknya aku kagak mau moge itu ada di sini, Mam! Mau dijual kek? Atau mau dikasikan orang, silahkan saja!"

"Dengarin ya sayang, moge itu kan nggak salah apa-apa? Dan lagi, itu adalah salah satu harta kesayangan Papi. Untuk membeli moge itu, tiga tahun penuh, Papimu harus menabung. Jadi ya harus kita jaga dong.....!"

"Moge itulah yang merenggut nyawa Papi, Mam! Coba kalau saat itu, Papi mau antar Yati ke kolam renang. Kan gak akan terjadi kecelakaan itu? Gara-gara beliau lebih pilih dan lebih seneng berduaan dengan mogenya, yah begitulah......."

Meski peristiwa tragis itu sudah setahun ini berlalu. Tapi "kabut kelam" yang menyelimuti wajah Aryati Permatasari masih belum mau berlalu. Kemurungan, kekuranglegawaan dan kehampaan telah menyedot habis pesona keremajaannya.

"Di mana kejelitaan dan keceriaanmu yang dulu, Yati?" hampir semua orang yang mengenalnya membatinnya seperti itu.

***

Malam ini, kedua jarum jam dinding di kamar Aryati masih menunjukkan pukul setengah sembilan. Namun remaja kelas 2 SMP itu sudah tertidur pulas di ranjangnya. Itu dimungkinkan karena sore tadi, dia bersama tiga orang cewek tetangganya bergowes ria selama sejam lebih. Artinya, ia dilanda keletihan fisik.

Bisa jadi saat ini, remaja putri milenial itu sedang asyik masyuk dengan mimpi indahnya.

Tetapi, sebuah panggilan telepon tiba-tiba berdering membangunkannya......

"Ya halo Dine, ada apa?" tanyanya sambil mengucek mata dan menguap.

"Kamu sudah denger belum soal Wangga....?"

"Soal Dewangga? Ngapain dia?"

"Dia dan papa mamanya masuk ke rumah sakit sore tadi...mereka bertiga harus ngamar di sana....."

"Haah harus opname? Apa mereka baru kecelakaan lalu lintas?" kejar Yati.

"Bukan karena itu! Tapi mereka bertiga terkonfirmasi positif covid-19."

Berita yang sangat mengejutkan itu langsung saja melunglaikan tubuhnya yang ramping. Lalu ambruk tergeletak di ranjangnya kembali. Serentak dengan itu, tiba-tiba menggigillah raga dan jiwanya. Aryati terjerembab dalam kesedihan dan ketakutan yang mencekam.

Ia takut sekali kalau dirinya akan dibawa juga ke rumah sakit. Karena baru kemarin siang, ia bertemu dengan Wangga di sebuah toko buku. Lalu diteruskan dengan minum es krim dan makan kudapan berdua di kafe sebelah toko buku tersebut. Setengah jam lebih mereka ngobrol berdua di sana.

"Jangan-jangan aku pun sudah terpapar corona dari Wangga? Mami, aku tak mau mati!" lengkingnya lepas merobek keheningan malam. Untung kamarnya kedap suara.

Akibatnya sepanjang malam, bahkan sampai subuh, ia tak bisa memejamkan matanya kembali. Gadis remaja ayu itu menjadi begitu kuyu tersiksa oleh ketakutannya sendiri.

***

Siang harinya, masyarakat di lingkungan RT-nya digemparkan oleh tersiarnya fakta duka. Seorang nenek tetangga dekatnya, yang berumur 80 tahun lebih, dilarikan ke rumah sakit. Tapi belum sampai sejam di sana, nenek sepuh itu sudah menghembuskan nafas terakhirnya.

Tak lama setelahnya, menyusul dua keluarga (berjumlah 9 orang) di lingkungan itu juga, harus dievakuasi ke rumah sakit. Berdasarkan hasil rapid test dan swab tempo hari, mereka semuanya dipastikan positif covid-19.

"Ngapain kamu menyusul ke sini, Yati?" tanya maminya heran, sesampainya ia di toko roti maminya.

"Aku takut Mi! Gak mau di rumah sendirian. Yati ogah mati, Mi...!" jawabnya seraya menangis gemetaran. Lalu  menghambur ke pelukan maminya.

"Apa yang sedang terjadi, sayangku?"

Setelah dijelaskan, segeralah diambil keputusan menutup tokonya lebih awal. Mereka akan bersiap-siap mengungsi sementara ke rumah eyangnya. Karena rumah eyangnya yang terletak di pinggiran kota itu cukup besar. Pertimbangannya, lingkungan RT tempat tinggalnya, kini dianggap telah menjadi zona hitam. Sedangkan rumah eyangnya masih zona hijau.

***

"Semua manusia itu ya pasti akan mati juga, Nduk! Cuma waktu dan caranya saja yang masing-masing orang berbeda." Ujar Eyang Kakung-nya kepada Yati sesudah makan malam. Priyayi sepuh itu nampak sekali hendak mencoba meredam ketakutan cucu kesayangannya.

"Ya, tapi Yati kagak mau mati sekarang ini Kung!"

"Memang kenapa sih kok kamu kepikiran banget soal mati?" Eyang Putrinya ikut nimbrung.

"Kan pandemi ini telah membuat banyak orang kehilangan nyawanya, Ti? Di Indonesia saja, sudah 100 ribu lebih yang positif. Yang mati sudah 5 ribu lebih..."

"Ya, tapi kamu gak perlu sampai paranoid gitu, sayang!" sela maminya, "yang penting kita tetap disiplin terapkan protokol kesehatan. Dan lebih penting lagi, kita harus makin rajin berdoa memohon proteksi Tuhan."

"Bener itu, Nduk. Waspada jaga kesehatan dengan disiplin adalah mutlak atau harga mati! Tapi tak perlu disertai rasa takut, Nduk! Sebab ketakutan justru akan menggerus imunitasmu. Yang pada gilirannya akan memerosotkan kesehatanmu sendiri..."

"Memangnya Yangkung dan Yangti tidak takut mati?" kejarnya.

"Ngapain harus takut, Cucuku yang cantik? Meski aku dan Yangtimu sudah tua, namun kami berdua tidak takut!" jawab pria sepuh itu mantap.

"Bener begitu Kung? Semua orang kan pada takut mati?"

"Dulu, kakek dan nenekmu ini memang merasa takut mati juga. Tapi kini, sudah kagak lagi. Kamu tahu apa alasannya?"

"Ya, apa rahasianya Kung?"

"Rahasianya, karena Yangkung ini sudah punya Tuhan Yesus," tegas kakeknya. "Karena Yangkung sudah percaya dan menerima Dia sebagai Penebus dan Juruselamat. Dialah yang pada waktunya, akan selamatkan dan beri hidup kekal kepada Yangkung. Artinya kalau mati, Yangkung pada akhirnya pasti akan masuk surga. Jadi ngapain kudu takut mati?"

"Yang takut mati itu, adalah orang yang akan kecebur neraka. Atau yang belum punya kepastian akan masuk surga, Nduk. Kamu sendiri sudah percaya pada Tuhan Yesus, belum?" Neneknya menegaskan sekaligus menanyainya.

"Ya, tentu sudah percaya dong, Bu! Orang dia sudah dibaptis setahun yang lalu. Untuk dibaptis, syaratnya kan harus sudah beriman kepada Kristus terlebih dahulu?" Maminya Yati menengahi.

"Aku memang sudah percaya kepada Tuhan Yesus. Tapi soal kepastian masuk surga, itu yang aku belum jelas dan paham...."

"Kalau begitu, coba kamu baca Yohanes 3:15-16 dan 10:27-28. Lalu Roma 5:9-10."

Yati pun dengan cepat membuka ponselnya dan membaca dengan lantang ayat-ayat Alkitab tersebut. Setelah membacanya keningnya nampak berkerut. Matanya masih menatap tajam ke layar ponselnya. Lalu kepalanya diangguk-anggukkannya sendiri.

"Ayat-ayat firman Tuhan ini, menegaskan bahwa setiap orang yang percaya Kristus tidak akan binasa kekal, melainkan akan beroleh hidup yang kekal. Alias diselamatkan atau pasti akan masuk surga."

"Ya memang begitulah! Makanya Kakek Nenekmu ini, hidupnya bahagia banget. Bahagia, karena sudah menjadi pengikutnya Sang Kristus!"

"Pendeknya, punya Yesus Kristus itu berarti punya surga juga! Sebab itu, apanya lagi yang kudu ditakutin, Nduk?" Yangti-nya menambahkan.

"Yes! Yes! Yes! Aku pun tidak takut lagi sekarang!" pekik Aryati sambil melonjak girang.

Lalu secara bergantian dia memeluk dan mencium Yangkung, Yangti dan Maminya. Kemudian ia menghambur ke kamarnya dengan senyuman kelegaan.

==000==

Bambang Suwarno-Palangkaraya, 01 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun