Bisikan Jenazah lebih eksperimental. Film ini menggabungkan horor supernatural dengan thriller psikologis, menyoroti suara-suara misterius dari mayat yang membuat tokohnya kehilangan kewarasan.
Ketiganya menunjukkan bahwa horor Indonesia kini semakin beragam: dari horor sosial, horor mitos klasik, hingga horor psikologis. Dalam lanskap seperti ini, Qodrat 2 muncul dengan ciri khasnya: horor religius-spiritual. Ia bukan sekadar menakut-nakuti, melainkan memberi ruang refleksi. Kita menonton bukan hanya untuk terkejut, tapi juga merenung: tentang iman, tentang kejahatan, dan tentang manusia itu sendiri.
Cermin Ketakutan Kolektif
Kenapa horor begitu populer di Indonesia? Jawabannya mungkin sederhana: horor dekat dengan keseharian kita. Cerita mistis, mitos lokal, hingga kisah seram warisan leluhur jadi bagian dari obrolan sehari-hari. Menonton horor di bioskop seolah menjadi cara kolektif untuk menghadapi, bahkan menertawakan, ketakutan yang selama ini hanya jadi bisik-bisik.
Namun horor juga berkembang sesuai zaman. Jika dulu horor Indonesia sering tampil eksploitatif---penuh sensualitas dan hantu berambut panjang---kini arahnya lebih beragam. Ada horor yang serius membangun atmosfer (Qodrat 2), horor dengan kritik sosial (Pesugihan), horor mitos urban (Kutukan Peti Mati), hingga horor psikologis yang membuat penonton mempertanyakan kewarasan (Bisikan Jenazah).
Dengan kata lain, horor menjadi cermin ketakutan kolektif masyarakat: takut miskin, takut tradisi, takut kehilangan iman, takut mati, dan bahkan takut pada pikiran sendiri. Qodrat 2 berkontribusi dengan menghadirkan dimensi "takut kehilangan pegangan spiritual", yang justru terasa sangat relevan di tengah zaman penuh krisis makna.
Sebagai film, Qodrat 2 punya banyak kekuatan. Akting Vino G. Bastian solid, didukung sinematografi yang gelap tapi indah, serta naskah yang berlapis. Ia bukan horor instan, tapi horor yang membekas setelah film usai.
Namun tentu tidak sempurna. Bagi sebagian penonton, tempo film ini terasa lambat. Tidak semua orang sabar menunggu horor yang dibangun perlahan. Selain itu, beberapa efek CGI kadang terasa terlalu artifisial, mengurangi kengerian yang sebenarnya sudah kuat lewat efek praktikal. Tapi kelemahan ini tidak terlalu mengganggu, karena secara keseluruhan filmnya tetap solid.
Film ini penting karena menunjukkan bahwa horor Indonesia bisa naik kelas. Ia bisa serius, bisa punya pesan, dan bisa berdiri sejajar dengan film drama atau action. Qodrat 2 membuktikan bahwa horor bukan sekadar tontonan hiburan, tapi juga bisa jadi medium refleksi spiritual dan sosial. Di tengah banjir horor 2025, ia hadir sebagai oase yang menyeimbangkan antara seram dan makna.
Lebih jauh, Qodrat 2 bisa dianggap bagian dari tren global di mana horor tidak lagi dipandang "kelas dua". Film seperti Get Out (2017) atau Hereditary (2018) di Barat membuka jalan bagi horor serius. Kini, Qodrat mencoba melakukan hal serupa di Indonesia: menjadikan horor sebagai genre yang layak diperlakukan dengan penuh respek.
Qodrat 2 adalah bukti bahwa horor Indonesia tidak hanya hidup, tapi juga berkembang. Ia berani keluar dari formula lama, menghadirkan kisah spiritual yang membumi, sekaligus menakutkan. Di tengah tren film horor 2025 yang semakin beragam---dari Pesugihan hingga Bisikan Jenazah---film ini menegaskan posisinya sebagai horor dengan identitas kuat: religius, emosional, sekaligus reflektif.