Indonesia punya relasi panjang dengan film horor. Sejak era Suzanna di tahun 70-80-an hingga kebangkitan genre ini di era 2000-an, horor seakan tak pernah benar-benar mati. Ia mengalami pasang surut, tapi selalu kembali dengan wajah baru sesuai zamannya.Â
Di tahun 2025, salah satu judul yang menyita perhatian publik adalah Qodrat 2, sekuel dari film yang beberapa tahun lalu sukses membangun dunia horor berlapis: mistik, religi, dan drama personal.
Qodrat 2 bukan sekadar melanjutkan cerita sebelumnya, tapi menawarkan ekspansi semesta dengan nuansa lebih gelap. Film ini kembali mengangkat sosok Ustaz Qodrat (diperankan dengan penuh wibawa oleh Vino G. Bastian) yang berhadapan dengan kekuatan gaib, kali ini lebih berbahaya dan personal. Kisahnya tidak hanya menguji kemampuan spiritual sang tokoh, tapi juga menggali trauma dan pertarungan batin yang membuat penonton merasa dekat secara emosional.
Di balik kengerian visualnya---dari ritual-ritual eksorsisme, jeritan-jeritan menggetarkan, hingga penampakan yang memanfaatkan efek praktikal maupun digital---film ini punya pesan moral: bahwa iman dan keyakinan menjadi benteng terakhir menghadapi kegelapan. Inilah ciri khas yang membedakan Qodrat dari banyak film horor lain yang hanya mengandalkan jump scare.
Narasi, Atmosfer, dan Estetika
Hal yang menonjol dari Qodrat 2 adalah bagaimana sutradara (Charles Gozali) membangun atmosfer. Tidak ada adegan yang terasa asal seram. Semua dirancang perlahan, membiarkan penonton masuk ke dalam dunia yang muram dan menyesakkan. Sound design yang intens, perpaduan musik gamelan dan instrumen modern, menambah ketegangan. Kamera sering bermain dengan ruang sempit, lorong gelap, atau sudut-sudut yang membuat kita merasa diawasi.
Secara naratif, film ini juga menolak untuk jadi "sekadar horor". Ada ruang drama keluarga, konflik batin, dan refleksi tentang kehilangan serta penebusan. Justru inilah yang membuat horor dalam Qodrat 2 terasa lebih manusiawi. Ketakutan yang dibangun bukan hanya soal makhluk gaib, tapi juga tentang rasa bersalah, trauma masa lalu, dan keputusasaan menghadapi takdir.
Kalau kita bandingkan dengan tren horor Indonesia 2025---seperti Pesugihan: Desa Terlarang yang menyoroti sisi gelap tradisi ekonomi mistik, atau Kutukan Peti Mati yang bermain di ranah urban legend baru, maupun Bisikan Jenazah yang mencoba menggabungkan horor dengan thriller psikologis---Qodrat 2 jelas berada di jalur yang berbeda. Ia mengutamakan kedalaman spiritual dan konflik personal ketimbang eksploitasi mitos semata. Ini yang membuatnya terasa segar di tengah banjir film horor belakangan ini.
Kalau kita tengok layar lebar Indonesia sepanjang 2025, horor jelas jadi primadona. Hampir setiap bulan ada judul baru. Tiga di antaranya cukup mencuri perhatian: Pesugihan: Desa Terlarang bermain di ranah horor sosial. Film ini mengangkat fenomena nyata masyarakat yang masih percaya jalan pintas lewat pesugihan untuk kekayaan. Horornya dibalut dengan kritik sosial tentang kesenjangan ekonomi.
Kutukan Peti Mati menawarkan horor dengan gaya lebih klasik. Ia mengandalkan mitos benda terkutuk, mirip dengan tradisi horor Hollywood seperti Annabelle atau The Conjuring, tapi dibalut lokalitas khas Indonesia.