#8
POLITIK MEDIA mainstream maupun medsos, hari-hari ini aktifitasnya semakin menghangat sejalan bursa kandidat Capres dan Cawapres 2024. Situasi yang kurang lebih sama seperti tahun periode sebelumnya. Setiap jelang suksesi kepemimpinan nasional selalu diawali agenda setting para tokoh, partai, relawan, ormas, pengamat, dan lembaga survei. Di tataran masyarakat pun tak kalah serunya ikut terlibat proaktif meramaikan prediksi konstelasi percaturan politik elektoral. Mendukung pencalonan sana-sini pun tak terelakkan bagai sebuah eforia selebritas partisipasi politik di republik ini.Â
Memang begitulah pada galibnya, Republik dipahami berasal dari kata "Res Publica" yang dimaksudkan untuk kepentingan bersama atau bisa berarti juga untuk kepentingan negara. Marwahnya ketika republik ini diproklamirkan, menjadi sebuah negara kesatuan yang disusun berdasarkan asas demokrasi. Dimana pemerintahan selaku pemegang otoritas atas nama negara akan bersama-sama dengan warganegara mengupayakan kemaslahatan hajat hidup masyarakat. Lalu pertanyaan yang sering diaktualisasi karena kerap terupdate, adalah dimana negara hadir di tengah warga negaranya?
REPUBLIK DUNIA MAYA
Negara akan dirasakan kehadirannya ketika Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik dapat dinikmati secara langsung masyarakat. Tentu saja dengan melibatkan peran aktif aktor, pemimpin lokal, sektor publik, otoritas lokal dan aktor swasta atau stakeholder. Berkaitan dengan pelayanan publik yang bersifat umum seperti administrasi yang secara terus-menerus diperbaiki kualitas pelayanannya disemua lini.
Fasilitas umum menjadi soal utama dari wujud kepentingan bersama. Ketersediaan sadang, papan, pangan dan rasa aman sebagai wujud kesejahteraan rakyat. Sembako, sarana transportasi umum, jaminan kesehatan semacam BBJS, fasilitasi pendidikan seperti sekolah murah, sekolah gratis dan kebijakan program disektor pelayanan lain seperti kualitas informasi sehat yang akan diuji dan diukur secara adil berdasar asas kebutuhan penerima manfaat. Sebagaimana juga dirancangnya program; Kartu Sembako Murah (KSM), Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK), dan Kartu Pra-kerja yang mudah-mudahan terus berlangsung kedepannya.
Persamaan hak semua warga negara untuk mendapatkan perhatian dan pelayanan publik, kongruen berbanding lurus dengan kewajibannya yang dipertanggungkan secara hierarkis. Sebagai Warga RT, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Kota, Propinsi dan Negara, dalam hal menjalani posisinya sebagai warga negara. Kepatuhan menaati semua keputusan negara adalah mutlak. Membayar PBB, Pajak, Listrik, selain kewajiban etis, moral dan sosial politik ekonomi yang termafum dalam perundangan sebagai hukum konsensus kewarganegaraan.Â
Namun anehnya yang kerap terjadi di Republik (+62) ini, jikalau kemudian ada keteledoran, kesalahan, ketidak beresan, selalu secara spontan ditumpukkan kepada presiden. Demikian pun Presiden Jokowi dalam dua periode kepemimpinannya boleh disebut paling banyak mendapat komplain dari masyarakat, utamanya nitizen. Mengingat periode kekuasaannya bertepatan dengan Transformasi Digital Revolusi Industri 4.0. Era yang dicirikan snobisme sosmed.
Tanpa menafikan perihal ketokohan kepemimpinan nasional dalam hal ini presiden. Pada periode akhir ini Jokowi akan diuji oleh waktu yang bersamaan, lewat beberapa variabel, Wisdom (kebijaksanaan), Virtues (kebajikan) dan Values (nilai-nilai), karya nyata, prestasi, dan konsistensi, dalam mengambil keputusan (policy). Dari pointer tersebutlah pilihan keberpihakan dapat dikaji sebagai sebuah perspektif visioner berdasar asas kemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable) bagi penerima manfaat, warga dan negara.Â
Cita-cita sosial itulah yang kini sedang dipertaruhkan oleh Jokowi. Sejauh mana telah memberlakukan warganegara secara adil seadil-adilnya. Imparsial tanpa mengenal pembeda sedikitpun. Sejalan spirit asas "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" sebagai sebuah keniscayaan.Â
Memang cukup disayangkan apabila asasi kebebasan informasi dan berekspresi yang disediakan teknologi informasi digital menjadi seakan dijadikan 'mimbar pengadilan'. Dimana kebenaran objektif, faktual, rasional dan ilmiah terabaikan. Kuliah, diskusi, dialog dan kotbah pun seakan diumbar bebas di medsos tanpa batas. Tidak mengherankan jika kemudian memunculkan salah persepsi, distorsi informasi, karena kaidah, asas, etik yang dijungkir balikan sesuai kepentingan.Â
Asumsi hipotesis dibangun untuk mendukung kesimpulan yang diyakini. Apa boleh buat, komunikasi yang seharusnya membawa kejernihan, justru berubah menjadi ular berbisa yang membelilit. Membawa masuk ke dalam pusaran proses elektoral yang sedang berlangsung kompetitif jelang Pemilu Serentak 2024.Â