Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jejak Kata

16 Agustus 2018   03:18 Diperbarui: 16 Agustus 2018   04:01 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kata" tidak memiliki jangkar makna apapun. Kata hanyalah sebuah topeng. Pada tulisan sebelumnya saya menguraika tentang pemikiran Heraklitos (550-480SM) menyatakan : "Yang Satu adalah Banyak", dikaitkan dengan makna "kata".

Bahwa kata adalah gambaran Hinterwelt itu palsu, fiktif, salah tetapi dibutuhkan. Maka  makna "Kata" bukan menggambarkan realitas, atau dalam sebuah Kata ada kekeliruan dan salah, maka tidak perlu membuangnya karena menolak kesalahan sama artinya menolak hidup. Menolak kesalahan, dan hanya mau menerima kebenaran adalah upaya mematikan separo (setengah) pada kehidupan nyata.

Friedrich Wilhelm Nietzsche, 1844-1900  memberikan pengertian "kata" adalah transposisi sonor sebuah rangsangan saraf.  Peng"kata"an adalah bersifat subyektif ditentukan oleh rasa campur aduk bersifat subyektif, kemudian ditransformasikan menjadi gambaran. Dan gambaran  diubah menjadi suara. Dan prosesnya terjadi sewenang-wenang tidak merujuk pada makna yang sebenarnya atau tidak menunjuk pada apa yang dikatakan. Maka dalam "kata" tidak terdapat kebenaran tunggal (ide fixed), atau causa atau kenyataan, tetapi hanya sebagai kebutuhan manusia pengujar saja.

Akibat kata, tidak mampu menjelaskan realitas pada dirinya sendiri, maka fungsi "kata" pada apapun menjadi lulus sebagai upaya membuat identifikasi (bersifat X enigma). Kata hanyalah memproyeksi pada kemanusian saja. Kata tanpa rumah asal, tanpa tujuan akhir, tanpa nostalgia, yang ada adalah sebuah tanah air pikiran yang telah sirna dan hilang. Artinya pada posisi ini Nietzsche atau mengingatkan bahwa ada bahaya pada dogmatism kebenaran. Apalagi bila meminjam  pemikiran Heraklitos bahwa semuanya berubah, mengalir, dan tidak pernah ada yang sama persis.

Atau dengan episteme Thomas Khun, dan Karl Popper meneruskan pemikiran bahwa semua kebenaran  bisa di falsifikasikan, ada anomaly, ada paradoks, dan bisa memunculkan pergeseran atau pergantian paradigm pada apapun. Atau apapun kebenaran konsep ide, atau "kata" tidak ada bersifat finalitas, terbuka segala kemungkinan pembatalan. Maka seluruh kata-kata, ide, cause, episteme, dan semua isme-isme  tidak lebih hanya kebutuhan manusia untuk percaya, dan bukan soal kebenaran. Dengan cara ini maka hidup dapat diselenggarakan, selain itu tidak ada makna apa apa pada kata-kata. Maka jika rasa percaya hilang pada saat itulah tali dan jangkar  hidup akan lepas dan masuk dalam  fase samudra tanpa batas.

 Nietzsche, menyatakan kata, konsep, causa, ide adalah suatu kekeliruan, dan hanya berguna membantu manusia melaksanakan dan menanggung kehidupan. Nietzsche pada tahap kedua menyatakan Nietzsche bahwa  kata, konsep, causa, ide adalah bersifat terselubung atau tidak dapat diketahui. Dan kalaupun ada maka tersingkapan itu bersifat sementara.  Karena kebenaran ada pada kawah tanpa dasar, jurang  dan sebagai sesuatu  yang tidak dapat disingkap secara utuh dan menyeluruh. Makna yang bisa dipahami dalam tafsir Nietzsche memberikan teguran kepada pencari kebenaran  bahwa kita semua harus memiliki sopan santun didepan kebenaran, dan tahu batas.

Kata secara primordial, bahwa dunia muncul dari Chaos, sebelum segala sesuatu terbentuk. Maka chaos bersatu dengan roh, melahirkan kata atau sabda. Kata atau sabda melahirkan telor kemudian pecah satu menjadi langit, dan satu menjadi bumi. Kata chaos, atau chasma sebagai bentuk lain pada makna kabut, atau gelap, atau samar-samar. Maka chaos tidak dapat dibahasakan.  Kata adalah "X"  yang tidak dapat diidentifikasikan dan bersifat abyssal.

Work citied: Friedrich Nietzsche (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, 1844-1900. [Friihliche Wissenschaft. English] The gay science: with a prelude in German rhymes and an appendix of songs I Friedrich Nietzsche; edited by Bernard Williams; translated by Josefine Nauckhoff; poems translated by Adrian Del Caro. 1952

Romo A Setyo Wibowo., 2017., Gaya Filsafat Nietzsche., Kanisius., Yogjakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun