Di penghujung Agustus 2025, ketika kemarau mulai retak, langit Jakarta dan kota-kota besar lain justru ikut mendung. Kepolisian mengambil langkah keras, seorang pengemudi daring tewas dilindas. Selang beberapa pekan, polisi berdiri di depan wartawan, sambil kembali memperlihatkan wajahnya yang paling purba: takut pada buku.
Lewat sebuah konferensi pers yang disiarkan ke seluruh negeri, Kapolda Jawa Barat Irjen Rudi Setiawan berdiri tegak, dengan suara penuh keyakinan memperlihatkan barang bukti hasil penangkapan sejumlah aktivis demokrasi. Pelbagai barang bukti itu terserak. Tak ditemukan bukti rencana kudeta di atas meja. Tapi di sana, ada buku--sesuatu yang seharusnya dibaca, diperdebatkan, dipahami.
Di negeri yang sering lupa pada sejarahnya sendiri, buku kembali jadi tersangka. Polisi percaya, tindakan perusakan dalam demonstrasi beberapa waktu lalu terinspirasi dari teks-teks tentang anarkisme. Sehingga buku pun diperlakukan seperti barang terlarang. Inilah wajah negara yang kembali curiga pada pikiran. Negara yang menganggap kata-kata lebih berbahaya daripada peluru dan mesiu.
Ada gema masa lalu dalam peristiwa itu. Seperti bayangan yang menembus dari balik layar waktu, kita seakan kembali ke era Orde Baru--masa ketika pikiran diawasi dan bacaan disortir. Ironi bertambah dalam, sebab semua terjadi di masa kepemimpinan Prabowo Subianto, seorang yang pernah tumbuh di orbit keluarga Cendana. Sejarah, agaknya, tak pernah mati. Ia hanya berganti wajah.
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya yang ditakuti dari sebuah buku tentang anarkisme? Kata itu, dalam ruang publik kita, sudah terlalu sering dipelintir menjadi sinonim dari kekacauan, kekerasan, vandalisme. Padahal, anarkisme bukanlah teriakan "hancurkan segalanya!" melainkan pertanyaan yang paling mendasar tentang kekuasaan: Apakah ia sahih? Apakah ia adil? Apakah ia melayani manusia atau justru menindasnya?
Dalam akar katanya, anarkos berarti "tanpa penguasa." Tetapi makna itu tak pernah berarti "tanpa aturan." Ia adalah gagasan bahwa manusia mampu mengatur hidupnya tanpa kekuasaan yang menindas dari atas. Bahwa kerja sama, solidaritas, dan kesadaran bisa menggantikan paksaan. Anarkisme, dalam pengertian ini, bukan ajakan untuk merusak, melainkan undangan untuk berpikir ulang: apakah semua bentuk kekuasaan memang perlu kita terima begitu saja?
Ironisnya, apa yang disebut sebagai anarkisme sering kali jauh lebih tertib daripada anarki yang lahir dari kekuasaan. Kekacauan yang paling mematikan dalam sejarah republik ini bukan datang dari aktivis yang membaca buku, melainkan dari pejabat yang merampok uang rakyat. Ia tidak melempar batu ke gedung parlemen, tetapi mencuri anggaran pembangunan dari balik meja rapat. Ia tidak merusak lampu jalan, tetapi mematikan masa depan anak-anak dengan memotong anggaran pendidikan. Ia tidak mencoret tembok kota, tetapi mencoreng wajah hukum dengan suap dan tipu daya.
Apa yang lebih anarkis daripada pejabat yang hidup bergelimang kemewahan sementara rakyatnya harus mengantre beras bansos? Apa yang lebih menghina hukum daripada polisi yang melindungi pembalak liar atau jaksa yang bermain mata dengan koruptor? Apa yang lebih merusak negara daripada parlemen yang memungut pajak dari keringat buruh lalu menghamburkannya untuk perjalanan dinas yang tak jelas?
Korupsi adalah anarki dalam bentuk paling sunyi. Ia tidak berteriak. Ia tidak membakar ban. Ia merayap pelan-pelan, merusak kepercayaan, melumpuhkan hukum, dan membunuh harapan. Ia adalah kekacauan yang berseragam rapi dan bertanda tangan resmi. Ia adalah kekerasan yang dilegalkan. Dan kita membiarkannya terjadi setiap hari, di gedung-gedung yang seharusnya menjadi rumah keadilan.
Lalu ketika rakyat marah, ketika jalanan menjadi tempat keluh kesah yang tak didengar, kita menggelarinya anarki. Ketika mahasiswa meneriakkan keadilan, kita menuduhnya radikal. Ketika aktivis menulis pamflet dan membagikan buku, kita menangkapnya sebagai ancaman. Seolah-olah kekacauan hanya lahir dari bawah, sementara kekuasaan di atas adalah takhta suci tak tersentuh.
Rakyat yang marah hanyalah reaksi dari kekacauan yang lebih besar: kekacauan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Mereka yang turun ke jalan bukan perusak tatanan; mereka justru berteriak agar tatanan dikembalikan. Mereka yang membaca buku bukan pemberontak; mereka sedang mencari jalan keluar dari kezaliman yang kian dalam.